PWMU.CO – Siapa yang tidak kenal Al-Khalil bin Ahmad? Saya yakin semua pengkaji agama cukup familiar dengan nama tokoh ini. Dialah legendaris tata bahasa Arab. Dengan nalar induktif, dia mampu memunculkan ilmu Nahwu dan Sharaf. Dia juga mampu memunculkan balaghah dari kedalaman al-Quran, al-Hadits, serta puisi-puisi pra-Islam (asy’aar al-jahiliyyah).
Kealimannya dalam ilmu bahasa menyebabkan masyarakat berduyun-duyun menjadi muridnya. Tiga muridnya yang cukup tersohor sebagai “pewarisnya” adalah Al-Kisa’i, al-Asmu’i, dan Sibawaih. Jika Al-Khalil adalah si jenius, maka Sibawaih lebih jenius lagi.
Sibawaih dalam bahasa Persia berarti aroma apel. Penguasaan ilmunya tentang bahasa Arab melampaui gurunya, Al-Khalil. Hingga suatu saat Sibawaih pulang meninggalkan madrasah yang dikelola Al-Khalil dengan diikuti oleh sebagian besar dari murid-murid gurunya tersebut.
Kemudian Al-Khalil pergi ke tanah suci untuk mencari inspirasi. Di sebuah kampung yang bernama Arudh, dia mendengar irama dari gerak ritmis pukulan palu tukang tembaga.
Setelah itu, dia merenung dan mendalaminya. Hingga lahirlah ilmu Arudh, ilmu yang mempelajari syair-syair Arabi. Sebuah kajian ilmu kebahasaan Arab yang dianggap paling bergengsi diantara berbagai ilmu bahasa Arab. Sebagaimana diabadikan dlm tiga nadzam berbahar rajaz berikut ini:
علم الخليل رحمة الله عليه
سببه ميل الورى لسيبويه
فخرج الامام يسعى للحرم
يسأل رب البيت من فيض الكرم
فزاده علم العروض فانتشر
بين الورى فاقبلت له البشر
Dari kisah Al-Khalil itu bisa diambil banyak pelajaran. Diantaranya adalah lumrah dan lazim seorang murid melampui ilmu gurunya. Namun yang pasti, seorang murid tidak bisa melampui keutamaan sang Guru. Sebab, guru adalah orang yang menancapkan ilmu, sementara murid hanya mengembangkannya.
Pelajaran lainnya, seorang guru diharapkan terus meng-up-date ilmunya, terus berinovasi untuk melahirkan ilmu ilmu baru agar semakin kuat kepakaran dan keutamaannya. Sumber inspirasi seringkali tidak jauh dari diri seseorang, sebagaimana kisah al-Khalil dan palu yang berdentang tersebut. (*)
Kolom ini ditulis oleh DR Syamsuddin, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur