PWMU.CO-Pemberian gelar haji yang sekarang menjadi kebanggaan sebagian muslim awalnya berasal dari politik pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya memberi cap kepada orang yang baru pulang berhaji sebagai warga yang patut diwaspadai bisa mengancam keamanan negara.
Hal itu disampaikan Ustadz Syahrul Mukarom dalam pengajian Ahad pagi bertempat di MI Muhammadiyah 28 Jl. Raya Bangkingan Surabaya, Ahad (12/8/2018). Pengajian ini diadakan oleh Majelis Tabligh PCM Lakarsantri.
”Dulu pemerintah kolonial menyeleksi dan mengawasi orang pergi haji agar mencegah gerakan radikal. Waktu pulang dari Mekkah, orang-orang ini dikarantina dulu di Kepulauan Seribu. Setelah dinilai aman baru dipulangkan dengan diberi gelar haji. Tujuan sebenarnya sebagai tanda bahwa orang ini berpotensi berbahaya bagi negara,” tutur Syahrul Mukarom.
Pemerintah kolonial bersikap begitu, sambung dia, karena gerakan radikal rakyat kebanyakan dipimpin oleh para haji. Sebab di Tanah Saudi orang-orang yang berhaji bisa bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan dunia Islam yang menyebarkan gagasan pembaruan.
”Sekarang gelar haji menjadi simbol kebanggaan sosial seseorang yang dipasang di depan namanya,” ujarnya. Padahal substansi melaksanakan haji bukan mencari gelar namun mencontoh misi Nabi Ibrahim yaitu mengajarkan tauhid dan menerima segala risikonya.
Mengutip surat An Nahl ayat 23, Syahrul membacakan, sesungguhnya telah ada teladan bagimu kepada Ibrahim dan orang-orang bersamanya. Saat dia berkata kepada kaumnya, sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah.
”Nabi Ibrahim menolak kesyirikan dan berhala-berhalanya. Dia hanya mengajarkan tauhid sejak muda meskipun dimusuhi kaumnya. Risiko yang diterima Nabi Ibrahim adalah dikriminalisasi dan diusir,” tandasnya.
”Sama seperti sekarang kalau ada ulama kritis maka dikriminalisasi dengan segala alasan. Atau diusir agar pindah ke negara lain sebab pemikiran itu dikatakan tidak cocok dengan kebudayaan masyarakat,” ujarnya berseloroh.
Syahrul menegaskan, itulah perjuangan para nabi yang mendakwahkan misi tauhid yang menjadi teladan umat Islam. ”Ujian tertinggi Nabi Ibrahim adalah diminta mengorbankan putranya, orang yang dicintainya. Karena Nabi Ibrahim taat dengan perintah Allah maka diterimalah ketaatannya itu dan digantilah pengorbanan dengan domba,” katanya lagi.
Sejak itu, sambung dia, dihapuslan praktik pengorbanan anak dan manusia oleh tradisi syirik masyarakat untuk kepentingan ritual maupun politik. ”Allah menggantinya cukup dengan pengorbanan domba yang dagingnya dibagikan kepada masyarakat bukan disajikan ke Tuhan,” paparnya. (sgp)