PWMU.CO – Sebutan bahwa Amien Rais seorang ambisius sampai saat ini masih sering saya dengar. Kalau menilik jabatan atau kekuasaan politik yang pernah disandangnya hingga saat ini, menyebut Amien Rais seorang ambisius saya kira sebutan tanpa dasar. Ukurannya tidak jelas.
Sebagai politisi, tentu sebutan ambisius akan dikaitkan dengan ambisinya dalam menggapai jabatan atau kekuasaan politik. Kalau jabatan atau kekusaan politik menjadi ukurannya, sosok Amien Rais justru jauh dari kesan ambisius.
Sebaliknya, banyak keteladaan yang telah dicontohkan Amien Rais yang layak ditiru oleh politisi-politisi ambisius negeri ini.
Seperti dalam konteks Amien Rais menjadi Ketua PP Muhammadiyah hasil Muktamar Aceh 1995.
Seiring terbentuknya Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai hasil rekomendasi Tanwir Muhammadiyah Semarang 1998, di mana Amien Rais didaulat menjadi Ketua Umum PAN, maka Amien Rais pun menyatakan mundur dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah.
Hasil Pemilu 1999 PAN menempati urutan lima dengan memperoleh suara 7.528.956 (34 kursi). Amien Rais kemudian terpilih menjadi Ketua MPR RI yang saat itu masih berstatus Lembaga Tertinggi Negara. Menurut penuturan banyak orang yang menjadi saksi sejarah di seputar Pilpres 1999—termasuk penuturan dari Amien Rais sendiri—meski sudah terpilih menjadi Ketua MPR, sebenarnya peluang untuk menjadi Presiden masih terbuka lebar.
Elit politik saat itu, seperti BJ Habibie, Wiranto, Akbar Tanjung, dan beberapa lainnya, lebih menghendaki Amien Rais yang menjadi Presiden RI. Alasannya, Amien Rais adalah tokoh reformasi yang berperan penting atas lengsernya Presiden Soeharto.
Melengserkan Soeharto itu pertaruhannya bukan hanya jabatan yang disandangnya, tapi juga nyawa. Sehingga wajar untuk menjabat Presiden. Selain itu, kapabilitas Amien Rais juga dinilai lebih baik dari calon-calon lainnya.
Namun Amien Rais menolaknya dengan alasan bahwa dirinya baru saja terpilih sebagai Ketua MPR RI, tentu tak elok menerima jabatan Presiden. Pasti akan dituduh ambisius. Amien Rais justru lebih memilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menjadi presiden.
Akhirnya Gus Dur pun terpilih menjadi Presiden mengalahkan Megawati Soekarno Putri yang kemudian terpilih menjadi Wakil Presiden. Kalau Amien Rais itu ambisius, hampir pasti akan menerima tawaran untuk menjadi Presiden.
Ketakbersedian Amien Rais menjadi Presiden dan sebaliknya justru mendukung Gus Dur sebagai Presiden setidaknya bisa dimaknai dalam dua hal. Yaitu sebagai euphoria politik Islam saat itu, di mana tiga institusi penting negara dijabat oleh perwakilan umat Islam. Selain Ketua MPR dan Presiden, juga Ketua DPR RI yang dijabat oleh Akbar Tanjung.
Kedua, dimaknai sebagai upaya memperkuat ukhuwah Muhammadiyah dan NU. Muktamar Lirboyo 1999, menggambarkan suasana ukhuwah Muhammadiyah dan NU. Beberapa kilometer sebelum memasuki tempat Muktamar, dipenuhi spanduk-spanduk ucapan selamat, di antaranya banyak berasal dari PAN dan Muhammadiyah.
Kuasa Allah berbicara lain. Gus Dur lengser dari kursi Presiden. Disayangkan, hingga saat ini, terlebih di level akar rumput NU, Amien Rais menjadi tertuduh utama atas lengsernya Gus Dur dari kursi presiden. Terkait hal ini, nantinya akan saya bahas tersendiri pada tulisan bagian terakhir.
Setelah musim perhelatan musyawarah partai-yang berlangsung pasca Pemilu 1999, PAN juga mengadakan Kongres I tahun 2000. Amien Rais terpilih menjadi Ketua Umum PAN.
Pada kongres II PAN tahun 2005 di Semarang Amien Rais juga masih mendapat dukungan dari peserta Kongres dan tokoh-tokoh PAN untuk memimpin kembali PAN periode kedua, tapi Amien Rais menolaknya.
Penolakan ini bukan basa basi sebagaimana sering dilakukan oleh elit partai lainnya. Amien Rais menolaknya dengan serius. Alasannya waktu itu, Amien Rais khawatir kalau dirinya tetap menjadi Ketua Umum dikhawatirkan akan mematikan dinamika partai.
Amien Rais yakin meski dirinya tak lagi menjadi Ketua Umum, PAN akan tetap berkembang. Terbukti ketika pada Pemilu 1999 mendapatkan hanya 34 kursi, pada Pemilu 2004 naik menjadi 53 kursi. Sementara pada Pemilu 2009 mengalami penurunan dengan hanya memperoleh 46 kursi, dan pada Pemilu 2014 naik menjadi 48 kursi.
Fakta politik ini menegaskan bahwa Amien Rais bukan seorang ambisius yang merusaha melanggengkan kuasa di partainya dengan tetap menjadi ketua umum.
Bandingkan dengan tokoh politik seusianya. Ada Megawati yang sejak 1994 sampai saat ini masih menjadi Ketua Umum PDIP dan belum ada tanda-tanda akan mengakhirinya.
Ada juga SBY yang sejak masih menjadi Presiden “rela” menjadi Ketua Umum Partai Demokrat setelah berhasil menyingkirkan Anas Urbaningrum dengan menggunakan tangan KPK.
Ada juga Muhaimin Iskandar yang sudah beberapa periode menjabat sebagai Ketua Umum PKB. Saya tidak tahu, apakah kegaduhan dalam penentuan calon wakil presiden kubu Joko Widodo karena ada kekhawatiran kalau Mahfud MD yang terpilih akan menggangu kuasa Cak Imin di PKB? Wallahu a’lam.
Menjabat hanya satu periode ini terus dipertahankan oleh ketua umum-ketua umum penerusnya: Sutrisno Bachir (2005-2010) yang menjadi ketua umum mengantikan Amien Rais hanya menjabat satu periode. Hatta Rajasa (2010-2015) yang mencoba bertahan dengan mencalonkan kembali dihadang secara serius oleh Amien Rais dan akhirnya berhasil dikalahkan oleh Zulkifli Hasan (2015-2020), meski dengan perolehan suara yang sangat tipis pada Kongres Bali 2015. Zulkifli Hasan memperoleh 292 suara dan Hatta Rajasa memperoleh 286 suara. Sementara 4 suara memilih abstain.
Terakhir, tuduhan ambisius dialamatkan ke Amien Rais ketika dirinya melontarkan pernyataan soal kesiapannya menjadi capres pada Pilpres 2019 sesaat setelah menerima beberapa jenderal yang risau melihat kondisi bangsa ini.
Amien Rais yang telah berusia sekitar 70-an tahun berdalih bahwa Mahathir Mohammad yang berusia lebih dari 90 tahun pun bisa menjadi Perdana Menteri.
Saya yakin ucapan Amien Rais itu jauh dari serius alias guyonan.
Amien Rais itu seorang doktor dan guru besar ilmu politik, tentu paham betul bahwa membanding sistem politik Indonesia dengan Malaysia itu tidak apple to apple.
Indonesia memakai sistem presidensil, sementara Malaysia parlementer. Model pemilihan kepala pemerintahnya tentu berbeda. Indonesia memilih presiden langsung, sementara Malaysia memilih anggota parlemen. Partai dengan perolehan kursi terbanyak atau berhasil membangun koalisi mayoritas di parlemen dengan sendirinya berhak atas jabatan perdana menteri. Dengan sistem ini, orang seperti Mahathir Mohammad pun bisa terpilih menjadi Perdana Menteri.
Dengan sistem yang berbeda ini, ditambah aspek shuubiyah di Indonesia yang masih sangat kuat, tentu Amien Rais sadar betul bahwa dirinya hampir mustahil bisa terpilih menjadi presiden.
Makanya setelah kegagalan pada Pilpres 2004, Amien Rais tak lagi tertarik atau berambisi untuk mencalonkan kembali sebagai cawapres pada Pemilu 2009.
Heran saja ketika Amien Rais melontarkan pernyataan soal pencalonannya menjadi cawapres pada Pilpres 2019 lalu mendapat respon serius dari beberapa pihak. Dipastikan mereka yang menyikapi secara serius pernyataan Amien Rais tersebut itu kurang melakukan “piknik politik”.
Tegal, 15 Agustus 2018
Kolom Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Guru Ilmu Politik FISIP UMJ.