PWMU.CO-Tergerusnya bahasa daerah dalam pergaulan anak muda zaman now tak hanya terjadi di Indonesia. Di Taiwan masalah itu juga menjadi pemikiran generasi tuanya.
Hal itu terungkap dalam Kajian Multidisipliner Komparasi Budaya Masyarakat Taiwan dan Indonesia yang diadakan di Aula BAA kampus UMM, Sabtu (18/8/2018). Hadir sebagai pembicara Sabrina, anggota Meinong People Assosiation (MPA) Taiwan dan juga pengurus kantor TransAsia Sister Assosiation Taiwan.
Di Taiwan, Sabrina bercerita, Meinong People Assosiation (MPA) membuat gerakan kampanye melestarikan kebudayaan masyarakat Meinong, sebuah kota di negeri pulau itu. Kampanye untuk mencintai bahasa Hakka yang mulai tergerus oleh bahasa Mandarin.
”Budaya, termasuk bahasa ibu musti dilestarikan. Misalnya saja Bahasa Jawa, anak-anak zaman sekarang meninggalkan bahasa daerah, jika tidak dipakai ini akan hilang,” jelas Sabrina, mantan WNI yang menikah dengan warga Taiwan dan tinggal di Meinong selama 20 tahun.
Sabrina dengan rombongan 20 orang. Di antara ada anak-anak muda yang berkreasi melestarikan kebudayaan suku Hakka. Mereka itu Willy, Jason, Nick dan Ryan. Keempatnya mengaku jatuh cinta setelah mengenal budaya Hakka lebih dalam.
“Kami mempelajari Pa in Hakka. Ini alat musik yang mulai ditinggalkan,” ujar Willy, remaja berusia 15 tahun yang menekuni rangkaian alat musik terdiri dari 8 jenis ini.
Sebelumnya, Pa in Hakka hanya dimainkan pada acara-acara adat. Namun, seiring perkembangan dan munculnya minat pada anak-anak muda, kini beberapa komunitas tengah coba melestarikan musik satu ini dengan cara yang berbeda.
”Kami menggunakannya dalam drama-drama anak muda yang dipentaskan. Meski awalnya hanya karena terpaksa mempelajari musik ini karena malas les, sekarang Pa in Hakka justru menjadi kebanggaan terbesar kami,” ujar Jason.
“Kebanyakan anak muda sekarang lebih suka bahasa Mandarin, ini membuat kami prihatin. Kami kemudian memperdalam musik, membuat lagu hingga album pop dengan lirik berbahasa Hakka. Kami mulai dari musik bertema anak-anak hingga remaja,” jelas Ryan.
Karya album mereka yang pertama berjudul X+Y, menceritakan tentang kegalauan anak-anak yang membenci matematika. Album kedua berjudul Masa Remaja menceritakan dilema remaja mulai dari persoalan cinta hingga konflik dengan orang tua.
”Kami tidak main-main. Lagu-lagu kami merupakan lagu pilihan yang dipilih musisi nasional dan kami menggelar konser dengan berkolaborasi bersama mereka,” tandas Nick.
Musik daerah itu awalnya sempat menjadi cibiran teman-teman lantaran menggunakan bahasa orang tua. Tapi setelah hits kini menginpirasi remaja menyukai bahasa Hakka.
Kepala Lembaga Kebudayaan UMM Dr Daroe Iswatiningsih MSi menyampaikan, kunjungan MPA merupakan tindak lanjut kerja sama UMM dengan berbagai lembaga di Tiongkok. Setelah memperkenalkan budaya mereka, ke-20 orang belajar membatik dan mengenal alat musik gamelan. ”Ke depannya kita rencanakan pertukaran budaya dalam lingkup yang lebih luas,”pungkasnya. (Izzudin)