PWMU.CO – Di bulan Agustus 2018 ini peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia berhimpitan dengan Idul Adha 1439.
Bukan karena kehimpitan waktu terjadinya itu kalau kemudian perlu direnungkan sisi kehimpitan substansial keduanya. Ada kehimpitan waktu atau tidak, kehimpitan substansial keduanya memang benar-benar hakiki.
Mari kita mulai. Perjalanan eksistensial Ibrahim mencari Tuhannya merupakan pembebasan dari kooptasi mindset oleh segala yang imitasi atau diimitasikan oleh ilusi kedirian manusia.
Ketika Tuhan sudah ditemukan melalui kejernihan eksistensi total mindset Ibrahim, seakan perjalanan telah usai. Ternyata belum. Masih panjang bentangan yang harus ditempuh.
Dan justru perjalanan menempuh etape berikutnya itu jauh lebih menguras energi kedirian Ibrahim. Melawan dan kemudian menghancurkan segala idol imitatif jauh lebih memerlukan curahan total potensial Ibrahim dibanding pencariannya menemukan Sang Tuhan.
Idol imitatif potensialis ada di luar dan di dalam diri. Pembersihan terus-menerus inilah yang akan menentukan ketercapaian pembebasan yang puncaknya berupa kemerdekaan itu sendiri.
Syukur kemudian, ketika tidak saja dirinya tapi juga Ismail, putranya, bisa sampai pada puncak pencapaian yang berupa kemerdekaan dari idol-idol tersebut. Antara lain dari pemberhalaan terhadap Ismail sebagai sang putra yang lama Ibrahim dambakan.
Untuk Ismail, keterbebasannya dari pengidolaan terhadap diri dan kediriannya sendiri. Ceritanya akan lain jika kemudian Ismail bersikukuh pada posisi eksistensialnya: Saya harus eksis, harus melawan perintah Tuhan yang di-taklif-kan atau dibebankan kepada sang ayah.
Ya, Ibrahim diuji untuk menyembelih: melenyapkan diri dan kedirian Ismail. Ibrahim dan Ismail merdeka dengan mempersembahkan kemerdekaan mereka sendiri kepada Sang Idola Orisinal, Allah yg tak terserikatkan!
Indonesia merdeka, kita memeringatinya! Merdeka dari apa? Mestinya dari segala idol imitatif baik aktual maupun potensial. Pada awalnya dari penjajahan para penjajah yang kasat mata, dari luar bangsa ini sendiri.
Tentu tidak serta merta merdeka dari seluruh idol imitatif yang masih terlalu banyak bermunculan. Oleh karena itu masih terlalu banyak juga yang harus dicapai. Artinya, kemerdekaan tidak mengenal keberhentian perjalanan bangsa ini.
Tetap bejalan, memerdekakan diri dan kedirian dari kebodohan, kemiskinan, keterpurukan, kehinaan, korupsi, syahwat kekuasaan yang menegasikan etika, termasuk dari ketidakbalighkan politik, dan lainnya.
Tetap berjalan dan berjalan sampai bertemu kembali dengan Sang Idola Orisinal, dengan Allah seraya berucap maa ana min al-musyrikiin (aku tidaklah termasuk orang-orang menyekutukan Tuhan).
Capaian Ibrahim dan keluarganya, semoga akhirnya seperti itu juga bagi bangsa ini!
Selamat Idul Adha! (*)
Kolom oleh Dr M Saad Ibrahim MA, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.