PWMU.CO – Beberapa hari yang lalu, melihat pelemahan Rupiah terhadap US Dollar yang berlanjut, Presiden Jokowi minta agar Rupiah tidak diukur kinerjanya terhadap US Dollar, tapi terhadap China Yuan. Konon Presiden juga sudah memulai upaya transaksi perdagangan dengan China dan Korea dengan menggunakan kurs mereka masing-masing.
Langkah yang ditempuh Presiden Jokowi ini sudah benar walaupun jauh dari cukup. Oleh karena itu saya menunggu langkah-langkah berikutnya yang lebih berani. Langkah yang lebih berarti adalah menyatakan RI lepas dari sistem keuangan global ribawi saat ini, segera melunasi pokok utang, dan menolak membayar bunganya, serta berhenti berutang (termasuk berhenti menggunakan anggaran defisit).
Kemudian berani menego perdagangan minyak dan gas (dengan Arab Saudi dkk) tidak dalam US Dollar, tapi dalam Saudi Riyal dan Rupiah, atau bahkan dengan barter produk agro-maritim kita. Kita akan buktikan apakah Kerajaan Arab Saudi itu sahabat RI atau kaki-tangan AS.
Harus segera disadari bahwa uang kertas (fiat money) adalah instrumen riba yang paling jahat. Riba tidak hanya soal bunga pinjaman. Sejak Nixon’s shock 1971, yang dilegalkan oleh konstitusi IMF, US Dollar tidak dikaitkan dengan cadangan emas Pemerintah Amerika Serikat. Sejak itu uang kertas apapun tidak layak disebut uang atau money. Hanya layak disebut kurs atau currency.
Uang sebagai surat utang pemerintah yang benar seharusnya dikaitkan dengan cadangan emas yang dimiliki Pemerintah yang mencetak uang kertas tersebut. Jadi cadangan emas itu adalah jaminan Pemerintah atas uang kertas yang dicetaknya.
Tanpa cadangan emas, maka uang kertas itu tidak memiliki nilai sama sekali. Uang kertas semacam ini setara dengan kertas toilet; bukan money tapi monkey; apalagi jika yang mencetak uang itu bukan Pemerintah, tapi Bank Sentral yang secara legal-formal bukan organ Pemerintah. Kalau praktik uang kertas semacam ini tidak bisa disebut penipuan legal besar-besaran, saya tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat.
Karena mengaku dirinya sebagai negara adidaya dengan kekuatan militer tanpa-tanding, Bank sentral AS, atau the Fed, bisa mencetak uang kertas US Dollar sebanyak apapun out of nothing. Bahkan kehadiran tentara-tentara AS beserta semua kekuatan militernya di seluruh dunia dibiayai dengan US Dollar ini.
Bank Sentral negara-negara lain juga boleh mencetak uang kertas mereka masing-masing, tapi dalam praktik perdagangan internasional, uang kertas selain US Dollar dan sekutunya (seperti Poundsterling Inggris) hampir-hampir tidak berharga di AS dan negara-negara sekutunya tersebut.
Namun karena US Dollar (melalui kesepakatan AS dan Arab Saudi) berhasil dikaitkan dengan minyak menjadi Petro Dollar, hanya US Dollar yang kemudian layak disebut uang atau hard currency.
Kita nyaris bisa membeli apapun di planet ini dengan membawa US Dollar, tapi kita tidak bisa membayar secangkir kopi Starbuck seharga USD 5.0 di Manhattan, New York dengan sejuta atau semiliar Rupiah sekalipun.
US Dollar adalah instrumen penjarahan Amerika Serikat pada para “mitra” (sejatinya adalah korban penjarahan AS) dagangnya. Para mitra dagang AS dipaksa mengeruk sumberdaya alam dan jasa hingga kering keringatnya, namun AS cukup membayarnya dengan mencetak US Dollar out of thin air.
Setiap Pemerintah yang sadar akan hal ini, namun membiarkannya berlangsung terus adalah Pemerintah negara yang terjajah, bukan negara merdeka atau negara boneka, kalau bukan kaki tangan AS. Padahal Presiden berkewajiban melaksanakan konstitusi secara murni dan konsekuen untuk melindungi seluruh warga negara dan tumpah darah Indonesia.
Praktik riba inilah pangkal semua masalah umat manusia di abad yang dengan congkak disebut super modern digitalik ini. Padahal ini adalah zaman ripping-off demonik dalam skala global. Hampir tidak ada sejengkal tanah di planet ini yang lepas dari praktik riba.
Imbauan Presiden Jokowi untuk melepas US Dollar tentu perlu kita dukung agar berani mengambil langkah lanjutan untuk melepaskan RI dari jebakan utang ribawi. Harap dicatat bahwa siapa pun yang masih mengaku beriman saat ini, apapun agamanya, jangan terlalu yakin masih berharap masuk surga selama masih terlibat dalam riba sekecil apapun.
Ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya telah menyatakan perang pada pelaku riba. Dan dari sejarah panjang kemanusiaan kita, kita tahu kita telah kalah.
Jatingaleh 9 September 2018
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guu Besar ITS Surabaya.
Discussion about this post