PWMU.CO – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ini ibarat sebuah pertarungan tinju superfight. Merupakan pertarungan ulang Jokowi vs Prabowo di Pilpres 2014.
Namun ada bedanya. Pilpres 2014 itu ibarat memperebutkan sabuk juara yang kosong. Sedang di Pilpres 2019 ini Jokowi sebagai juara bertahan dengan status mandatory fight menghadapi Prabowo yang menjadi penantang.
Di belantika tinju, juara bertahan hampir selalu diunggulkan. Dianggap terbukti memiliki mental juara. Berarti akan tampil percaya diri. Tenang. Tidak grogi apalagi sampai salah tingkah. Mental juara tidak takut kalah.
Karena ada indikator elementer demikian, jika seorang juara bertahan kemudian berperilaku aneh-aneh, kelihatan salah tingkah bahkan untuk hal yang sangat sederhana, bicaranya seperti lepas kontrol, maka biasanya pasar langsung menebak bahwa sang juara sedang dililit masalah dalam menghadapi pertarungan. Bahkan mental juaranya sudah breakdown. Indikator mental breakdown akan semakin terlihat ketika sang juara gampang ngamuk, nyinyir.
Menjelang tarung melawan Cacius Clay alias Muhammad Ali, juara bertahan Sonny Liston sering uring-uringan sendiri. Ngamukan. Melontarkan tuduhan yang bukan-bukan kepada calon lawannya. Publik kaget. Pasar taruhan yang sudah mengunggulkan dia sampai 3:1 perlahan menurun karena naluri pasar tahu Liston bisa tumbang. Dan ternyata naluri pasar benar.
Indikator mental breakdown lainnya adalah ketika seorang juara mulai jumawa, takabur. Merasa dirinya tak bakal terkalahkan. Kepercayaan diri yang terlalu besar akan membuka pintu kekalahan. Contohnya Mike Tyson. Dia sesumbar tak ada manuai di planet ini yang bisa mengalahkannya. Maka dia hadapi James Douglas dengan persiapan ala kadar. Menganggap Douglas seperti nyambik yang akan melawan godzila. Walhasil, Tyson tersungkur KO.
Petinju yang mentalnya rontok itu seperti semprong. Kelihatan utuh, kuat tapi gampang pecah. Kena upper cut sekali dua akan terjungkal. Ingat Michael Spink yang mentalnya rontok sebelum tarung sehingga hanya bertahan beberapa detik melawan Tyson.
Sementara bagi petinju yang pernah kalah, ada dua kemungkinan. Pertama, mengalami trauma untuk melakukan pertarungan revan. Ibarat ayam aduan sudah kacrek. Takut untuk bertarung lagi menghapi lawan yang pernah mengalahkannya. Baru disebut nama calon lawannya saja tulang-belulang sudah seperti mreteli, wajahnya pucat seperti kapas.
Di sejarah tinju kita kenal George Foreman. Dia petinju luar biasa hebat. Raja KO. Tetapi dia sama sekali tidak mau untuk tarung ulang melawan Muhammad Ali yang memukulnya KO. Foreman dicekam trauma. Sudah kacrek. Tetapi ketika melawan petinju lain, Foreman masih sangat hebat. Bahkan bisa merebut juara kelas berat di usia 47 tahun dengan menjungkalkan Michael Moorer.
Kedua, bangkit lagi dan fight. Contohnya Muhammad Ali. Dia seorang fighter sejati. Sekali jatuh, bangkit lagi dan menang. Ali pernah dikalahkan Joe Fraizer, Ken Norton, dan Lion Spink. Tapi Ali berani melakukan tarung ulang dan menang. Tetapi ketika dikalahkan Larry Holmes, Ali tidak mau revan. Ia menyadari sudah saatnya gantung sarung tinju karena tidak mungkin melawan umur. Manusia yang bijaksana akan menghormati suratan alam.
Seorang figther sejati meyakini kegagalan hanyalah kemenangan yang tertunda. Akan melakukan instropeksi atas kekalahannya untuk kemudian dianalisis. Kelemahan akan dibuang, kekuatan akan dipupuk. Dengan jujur mengakui kelebihan lawan untuk diwaspadai, dan juga menelisik kelemahan lawan untuk dijungkalkan.
Bagi fighter sejati, kalah-menang hanyalah sebuah konsekuensi seperti diterjang gelombang karena berlayar. Tapil bertarung saja sudah merupakan kebanggan diri. Berbeda dengan pecundang sejati, selalu takut kalah. Kemenangan adalah keniscayaan yang harus diraih meskipun harus menghalalkan semua cara, menafikan malu dan harga diri.
Pilpres 2019 superfight sudah dimulai sejak 23 September. Bahkan pemanasannya sudah dilakukan jauh sebelum musim kampanye itu. Sudah dipanasi pertarungan #2019GantiPresiden vs #2019TetapJokowi. Ibarat dalam tinju, perang urat saraf, perang promo, sudah ramai sebelum acara timbang badan.
Pertarungan akan berlangsung lebih kurang tujuh bulan. Rentang waktu demikian cukup panjang. Akan menjadi pertarungan yang melelahkan, menguras energi.
Para petarung dituntut memiliki fisik dan stamina yang kuat karena harus turun ke masyarakat untuk promosi langsung. Tidak cukup melalui media mainstrem karena tingkat kepercayaan publik terhadapnya semakin merosot. Tidak cukup melalui media sosial karena yang benar dan yang hoax semakin kabur.
Semua petarung harus sabar. Bahkan sabar ini boleh dibilang jadi kuncinya. Sabar menghadapi nyinyirisme yang begitu merebak. Sabar menghadapi pengkhianatan di dalam tim. Sabar ini menyangkut mental, bukan semata soal umur. Orang muda penuh kesabaran juga ada, orang tua ngamukan juga ada.
Dalam pertarungan panjang, kemenangan tidak selalu diperoleh karena bekal kelebihan dirinya tetapi juga bisa karena kesalahan-kesalahan lawan. Semua petarung (capres dan cawapres) harus berusaha menekan kesalahan sekecil apapun.
Dalam belantika tinju, petinju yang kalah karena kesalahan sendiri itu biasanya yang tampil bukan atas dasar karakternya. Tapi karena polesan. Misalnya, seorang petinju yang karakternya boxer tiba-tiba dipoles dan dicitrakan sebegitu rupa untuk menjadi fighter. Maka di ring akan membuat kesalahan sendiri karena lupa skenarionya. Sedang petinju yang tampil apa adanya sesuai karakternya, bakat alamnya akan terhindar dari kesalahan sendiri.
Di samping sabar dan logistik, kunci dalam pertarungan panjang adalah konsistensi. Yang alami dan yang polesan, akan terlihat di variabel konsistensi ini. Ibaratnya, garangan yang dipoles menjadi serigala, pada titik tertentu akan terlihat wujud asli garangannya. Sementara serigala yang otentik, akan tetap serigala.
Karena Pilpres bukan pertarungan tinju title fight, maka juaranya harus ditentukan dengan kemenangan angka. Bukan KO, TKO, atau diskualifikasi.
Selamat bertarung. Junjung tinggi fair play! (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior.