PWMU.CO-Dalam suatu kunjungan ke Surabaya pada 18 Desember 1956, Presiden Sukarno menyempatkan blusukan ke kampung Peneleh Gang VII. Malam pukul 20.00 dia mampir ke Toko Buku Peneleh yang terletak di ujung gang.
Kunjungan mendadak itu tentu saja mengejutkan pemilik rumah, Haji Abdul Latif Zein. Semua penghuni rumah pun keluar menyambut tamu agung itu. Termasuk Nurudhuha (83), anak perempuan Abdul Latif Zein yang waktu itu sudah berumur 21 tahun.
”Malam-malam Bung Karno tiba-tiba datang bersama Pak Roeslan Abdulgani,” cerita Nurudhuha saat ditemui Ahad (30/9/2018). ”Kunjungan itu mendadak, tidak ada pemberitahuan sebelumnya,” sambungnya.
Dia menjelaskan, Bung Karno disambut ayahnya di depan di antara etalase toko buku seperti tampak dalam foto lama yang dipasang di dinding itu. Sayangnya, Nurudhuha tidak ingat apa saja yang diperbincangkan Bung Karno dengan ayahnya.
Kemudian Bung Karno masuk ke ruang tamu. ”Saat masuk ruang tamu Bung Karno memandangi seluruh ruangan sambil berkata, di sini, di ruang ini dulu saya sering mengikuti rapat pergerakan. Sambil bercerita tangan Bung Karno menunjuk ruang tamu ini,” kata Nurudhuha.
Kunjungan Bung Karno di rumah itu tidak lama. Menurut Nurudhuha, setelah berbincang dan melihat suasana ruang tamu kemudian segera pergi. Dia tidak tahu rapat pergerakan yang diceritakan Bung Karno sebab rumah ini dibeli ayahnya sekitar tahun 1930.
”Bapak saya membeli rumah ini dari Haji Dahlan. Dia itu orang kaya. Rapat pergerakan itu terjadi di zaman Haji Dahlan,” ujarnya. ”Bapak saya membeli rumah ini untuk usaha percetakan dan toko buku,” tambahnya. Kondisi rumah relatif tidak berubah hingga sekarang.
Bung Karno hidup di kampung Peneleh VII, indekos di rumah Tjokroaminoto, antara tahun 1916-1921. Masa dia sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Jadi rapat pergerakan yang diceritakan itu berlangsung antara tahun itu. Kemungkinan besar itu rapat Sarikat Islam. Haji Dahlan bisa jadi penyokong Sarekat Islam yang banyak memberi fasilitas pada organisasi ini.
Jarak rumah ini dengan rumah Tjokroaminoto hanya selisih satu rumah di depannya. Sekitar 20 meter. Dibandingkan rumah Tjokro, rumah yang sekarang menjadi Toko Buku Peneleh ini lebih besar dan megah pada zamannya.
Rumah Tjokro model rumah Jawa. Sedangkan rumah warisan Abdul Latif Zein ini bergaya Eropa. Arsitekturnya seperti tren 1920-an. Gaya art deco. Simetris, sederhana, elegan, dengan hiasan ornamen di beberapa tempat.
Mendengar cerita begitu pentingnya peran rumah ini di zaman pergerakan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah saat KH Ahmad Dahlan diundang Tjokroaminoto ke Surabaya apakah juga dijamu di rumah ini?
”Namanya kemungkinan ya mungkin saja pernah Kiai Dahlan mampir di rumah ini. Tapi sejauh ini belum ada sumber yang menguatkan kemungkinan itu,” jawab Ashari, putra Nurudhuha yang sekarang mengelola toko buku itu.
Dia mengatakan, Kiai Dahlan setidaknya pernah tiga kali ke Surabaya dalam kurun waktu 1916 hingga wafatnya 1923. Saat di Surabaya menetap beberapa hari untuk berkeliling di beberapa tempat. Di antara hari-hari Kiai Dahlan di Surabaya bisa jadi juga dikenalkan dengan Haji Dahlan dan bertamu ke rumahnya.
Mengingat rumahnya dipakai untuk tempat rapat pasti Haji Dahlan termasuk orang penting atau orang istimewa yang patut diperkenalkan dengan tamu-tamu Tjokroaminoto. Sayangnya, saat rumah itu dibeli oleh Abdul Latif Zein, cerita-cerita pergerakan dalam rumah ini semasa Haji Dahlan tidak ikut diwariskan.
Abdul Latif Zein membangun kisah sendiri dengan menjadikan rumahnya sebagai percetakan buku-buku Haji Mas Mansur, buku Muhammadiyah, dan buku Islam lainnya. Toko buku di depan, percetakan di samping rumah. Mesin cetaknya masih handpress.
”Kakek saya aktif di Muhammadiyah menjadi pengurus Penolong Kesejahteraan Oemoem (PKO) di zaman Mas Mansur menjadi ketua Muhammadiyah Surabaya,” kata Ashari.
Dia menceritakan, hampir semua tulisan Mas Mansur dicetak di sini. ”Namun sayangnya semua koleksi buku itu sudah tidak ada. Habis terjual. Tidak ada dokumentasi. Kabarnya ada satu buku berjudul Syirik disimpan paman saya,” tuturnya.
Hingga saat ini Toko Buku Peneleh masih menjual buku-buku, asesoris, dan perlengkapan Muhammadiyah. Ada majalah Suara Muhammadiyah dan Matan. Bendera Muhammadiyah dan Aisyiyah. Logo, simbol, pin, dan foto-foto ketua Muhammadiyah tersedia.
”Kami masih tetap menjual buku dan perlengkapan Muhammadiyah. Hanya percetakan yang tutup karena sejak kakek meninggal tidak ada yang melanjutkan usaha itu,” ujarnya. (sgp)