PWMU.CO – Ratna Sarumpaet mengaku berbohong soal penganiayaan dirinya. Kasus ini sebenarnya tidak istimewa sama sekali layaknya riak kecil di aliran anak dari anak dari anak (cicit) sungai. Tetapi, begitu bertemu dengan air terjun maka riaknya menjadi gemuruh.
Sedikitnya ada tiga pemantik sehingga kasus ini menjadi begitu gemuruh. Pertama, Ratna berani mengaku telah berbohong dan meminta maaf serta berani menerima konsekuensinya. Sikap demikian amat sangat langka layaknya sapi berekor tiga. Umumnya pembohong akan menyembunyikan kebohongannya sampai di dasar bumi.
Kedua, polisi bertindak supercepat menangani kasus ini. Meskipun belum ada laporan resmi tapi secara pofesional sudah bertindak seperti hujan turun sebelum mendung datang. Memang ada yang heran mengapa penanganan kasus Ratna superekspres sementar kasus lain tidak secepat itu. Misalnya kasus video hoax penganiayaan hingga tewas Haringga Sirla, suporter Persija.
Di video itu diberi tambahan kalimah tauhid. Aliansi Santri Indonesia sudah mengadukan ke polisi Denny Siregar. MUI dan anggota DPR meminta polisi mengusut video yang bernada menistakan Islam dan menodai kalimah tauhid. Tapi sejauh ini belum ada kabar pengusutannya oleh polisi.
Ketiga, masuknya kepentingan politik menunggangi kasus ini. Misalnya, LBH Kemandirian yang mengadukan ke Bawaslu agar Capres Prabowo Subianto dilikuidasi dari pilpres karena terlibat hoax kasus Ratna ini. Pengacara Farhat Abas melaporkan Prabowo dan Amien Rais ke polisi. Targetnya Prabowo menjadi terpidana sehingga elektabilitasnya hancur.
Gorengan politik ini semakin hari semakin riuh dan tajam. Ada pihak yang menuding Ratna adalah agen yang diselundupkan ke kubu Capres nomor 02 untuk menghacurkan, bukan hanya elektabilitasnya. Jika perlu sampai Prabowo dilikuidasi. Ada juga yang menuduh kubu Prabowo menggunaan teknik propaganda ala Rusia yg dikenal sebagai “firehose of the falsehood“. Teknik propaganda ini berciri melakukan kebohongan-kebohongan nyata (obvious lies) untuk membangun ketakutan publik. Tujuannya mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawannya.
Tradisi kebohongan
Kebohongan Ratna hanyalah seperti cicit dari sungai besar kebohongan yang seolah sudah menjadi semacam tradisi bangsa ini, khususnya elite bangsa, apapun profesinya. Terlalu banyak modus kebohongan seperti kecelakaan pura-pura sakit, amnesia, lupa, bermain watak dan peran. Hari ini jadi orang lugu, ndeso besok lusanya jadi sosok jagoan milenial.
Belantika politik kita sudah cukup lama menganut strategi pencitraan. Di dalam pencitraan itu hampir selalu ada kebohongan. Orang yang rakus, ambisius, bisa diframing menjadi orang yang jujur, sederhana, rendah hati. Rahwana bisa diframing menjadi Rama. Garangan bisa dipoles menjadi kucing yang manis.
Hanya kondisi Indonesia, konon, belum separah negara di Afrika. Ada negara di Afrika di mana manajemen negara dan pemerintahan dilalukan seperti sinetron. Semua serba bohong dan pura-pura. Bahkan kalau perlu pakai pemain peran pengganti. Angka inflasi bisa disulap menjdi deflasi, petani terpuruk diramesi menjadi kesejahteraannya meningkat.
Pengangguran membiak dibilang menurun. Pertumbuhan ekonomi dikerek agar kelihatan tinggi. Maka statistik di Somalia sulit sekali dipercaya. Statistik resmi, merunut tulisan Darrel Huff dalam bukunya How to Lie with Statistic, sering jadi alat kebohongan negara.
Antropolog muslim Ibnu Khaldun mengatakan, manusia adalah anak kebiasaannya. Jika seseorang biasa bohong maka akhirnya bohong itu bukan lagi aib atau dosa. Apalagi jika sudah menganut paham “kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran”. Jika paham itu dianut oleh mayoritas elite dan berlangsung lama pada akhirnya menjadi tradisi. Apakah kebohongan telah menjadi tradisi elite kita?
Tradisi kebohongan telah menyebabkan rapuhnya kebenaran. Kebenaran itu, kata Krishna kepada kakaknya, Balarama, seperti batang pohon. Akarnya adalah kasih sayang, Sedang sumpah dan aturan perundangan itu cabangnya.
Bangsa yang hidup dalam tradisi bohong niscayanya sudah buta kasih sayang (rahmatan). Sudah tidak ada ikatan satu sama lain. Masing-masing berbuat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri, kelompoknya, partainya, sindikatnya, nepotismenya.
Pohon kebenaran yang buta kasih sayang (rahmatan) maka cangbang-cabangnya berlubang-lubang, rapuh dan akhirnya mengering. Hukum bukan menjadi alat keadilan tetapi menjadi alat penindasan, penghacuran lawan, menjadi komoditi yang diperdagangkan. Konvensi-konvensi berubah menjadi gerakan persengkokolan jahat dan keji. Ayat-ayat kitab suci diperjual-belikan. Sumpah jabatan hanyalah sebatas peramai pelantikan yang tanpa penghayatan, apalagi pengamalan.
Maka berikutnya, bukan hanya cabang-cabang yang mengering tapi batangnya akan rapuh. Sedikit gempa dan angin lisus sudah cukup untuk membuat pohon itu tumbang. Allahu a’lam bissawab. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior.