Berpolitik Terasa Penting Saat Melihat Ada Kebijakan Menyingkirkan Umat

Habibie/pwmu.co
Nadjib Hamid ketika mengisi pengkaderan Pemuda dan Nasyiah di Prigen.

PWMU.CO-Politik itu penting. Tidak ada satu kebijakan dalam kehidupan dunia ini yang lepas dari kebijakan politik.

Demikian disampaikan Wakil Ketua PWM Jatim Nadjih Hamid MSi saat mengisi Perkaderan Integral Pimpinan Pemuda Daerah (PDPM)  dan Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Surabaya di Agro Mulia Prigen Pasuruan, Sabtu-Ahad (6-7/10/2018).

“Saya bilang politik itu sangat penting. Jangan diabaikan. Sebagai warga Muhammadiyah saya merasakan bahwa dulu Muhammadiyah sangat besar sumbangsihnya terhadap berdirinya bangsa ini,” ujar calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Dapil Jawa Timur ini.

Menurutnya, di antara para pendiri bangsa  ada tokoh-tokoh Muhammadiyah. Bahkan Pak Yai Ahmad Dahlan bersama istrinya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.  ”Ini bukti. Ada Kasman Singodimejo, ada Ki Bagus Hadikusumo, ada Panglima Sudirman dan lain-lain,” ujarnya.

Muhammadiyah, sambung dia, berperan besar dalam mendirikan bangsa ini. Tetapi seiring perjalanan bangsa Muhammadiyah kemudian surut dalam kegiatan politik karena politik dianggap tidak cocok dengan misi dakwah.

”Mengapa bagitu? Karena para penguasa sengaja memperlakukan pihak-pihak yang punya potensi secara diskriminatif maka kemudian Muhammadiyah melepaskan diri dari Partai Masyumi,” katanya.

Dia menyampaikan, ketika Orde Baru Muhammadiyah dikenakan pasal monoloyalitas. Monoloyalitas itu pegawai negeri tidak boleh aktif di organisasi manapun padahal sebagian besar warga Muhammadiyah adalah pegawai negeri. Partai yang boleh hanya tiga yaitu PPP, PDIP dan Golkar. Muhammadiyah lagi-lagi terpinggirkan,” tambahnya.

“Saya dari kecil ketika menjadi aktivis didoktrin pentingnya kaderisasi. Saya lakukan kederisasi di IPM, di Pemuda. Saya pernah di Departemen Kader, saya pernah jadi sekretaris PWM Jawa Timur. Kaderisasi itu saya lakukan tetapi saya merasa janggal ketika Muhammadiyah mengadakan muktamar di Malang saat hendak menentukan siapa ketua umum PP Muhammadiyah beredar sebuah persyaratan bahwa calon Pimpinan Pusat (PP) dilarang mencalonkan diri menjadi Capres dan Cawapres,” tandasnya.

Ketika masih kecil disuruh lakukan kaderisasi kepemimpinan, sambungnya, tetapi menjelang puncak dipotong dengan persyaratan calon ketua umum tidak boleh terlibat dalam politik. Syarat Pimpinan Wilayah juga begitu akhirnya semua tokoh Muhammadiyah mulai pusat sampai ranting dijauhkan dari kehidupan politik.

”Karena Muhammadiyah tidak terbiasa dalam kehidupan politik praktis maka dalam perjalanannya kemudian Muhammadiyah apatis dalam setiap Pemilu tidak pernah ikut terlibat aktif. Oleh karenanya warga Muhammadiyah diambil oleh partai-partai untuk mendukung kegiatan politiknya,” ungkapnya.

Ketika tokoh Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), kata dia, ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Tidak cepat menjadi partai besar. Bahkan kader-kader Muhammadiyah banyak yang keluar.

”Kenapa? Karena kader-kader Muhammadiyah itu tidak terbiasa berkonflik dengan sesama. Biasanya kalau ada konflik cenderung mundur padahal di partai politik tidak bisa kalau tidak ada konflik. Maka partai politik itu banyak diisi oleh non Muhammadiyah,” ujar dia menambahkan.

Setelah itu, kata dia, yang duduk di legislatif, yang duduk di ekskutif bukanlah orang-orang yang punya komitmen dan kepedulian terhadap Muhammadiyah. ”Nah, ketika ada kebijakan yang tidak menguntungkan Muhammadiyah maka sekarang ini kita baru merasakan betapa pentingnya Muhammadiyah terlibat dalam kebijakan politik itu,” ujarnya. (Habibie)

Exit mobile version