PWMU.CO – Kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 diperingati bangsa ini sebagai awal dari kebangkitan nasional. Terlepas dari polemik penetapan tanggal ini, satu yang jelas, pada tahun-tahun itulah, berdiri berbagai organisasi yang menginisiasi kesadaran bangsa Indonesia. Tidak terkecuali, Boedi Oetomo, Jam’iyatul Khairat, Serikat Dagang Islam, dan tentu saja Muhammadiyah.
Bagi Muhammadiyah, harus diakui bahwa ada peran penting Boedi Oetomo dalam pendirian dan perkembangannya. Begitu juga sebaliknya. Berikut adalah salah satu catatan pwmu.co tentang kedekatan kedua organisasi itu.
“Pada tahun 1917 pertengahan bulan Maret, tiba-tiba KHA. Dahlan memerintahkan kepada murid-muridnya yang agak dewasa kurang lebih lima orang untuk mempersiapkan perlengkapan sidang tahunan Boedi Oetomo,” begitu kesaksian Muhammad Syoedja’ tentang instruksi KH Ahmad Dahlan kepada beberapa muridnya.
Hari Sabtu malam Ahad yang telah ditentukan itu berlangsunglah sidang tahunan atau Kongres yang dihadiri anggota dan tamu-tamu undangan dengan gembira dan meriah. “100 kursi satu meja pimpinan, tempat yang lain disambung dengan bangku-bangku sekolah yang ada,” jelas Syoedja’ yang juga menjadi salah satu “panitia lokal” itu.
Dalam persiapan ini, Kyai Dahlan juga meminta agar disediakan satu podium (mimbar) sebagai tempat orasi. Oleh karena pada masa itu belum ada persewaan kursi dan meja seperti sekarang, maka kursi-kursi itu hanya dapat dipinjam dari tetangga sekitar rumah Kyai Dahlan.
“Sehingga terdapat kursi bermacam-macam warna dan modelnya, tetapi cukuplah untuk keperluan sidang tersebut,” begitu riwayat berbagai peralatan akomodasi yang disediakan untuk Kongres. “Dan sediakala teh dan setelah istirahat diganti dengan kopi susu,” tulis “Bapak Perbaikan Pelayanan Haji” itu tentang menu konsumsi sederhana Kongres.
Begitulah, hingga tulisan ini diturunkan pada 19 Mei 2016, pwmu.co belum menemukan cerita lengkap cerita jalannya Kongres tahun 1917 itu. Bahkan apakah itu Kongres itu dihadiri semua pengurus Boedi Oetomo dari seluruh Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu), atau hanya dari Yogyakarta, juga belum terkonfirmasikan.
“Jangan dibayangkan organisasi apapun pada zaman itu setertib seperti sekarang ini terkait dengan strukturnya,” begitu kata peneliti Muhammadiyah sejak S1 hingga S-3, berusaha mengakhiri polemik ini.
“Kongres yang ke-9 ini dihadiri utusan seluruh Hindia Belanda,” begitu tulis Deliar Noer. Hal serupa juga ditulis oleh Solichin Salam, MT Arifin, Achmad Jainuri, Abdul Munir Mulkhan, A. Najib Burhani, M. Nasruddin Anshoriy, dan lain-lainnya.
Sementara disertasi Alfian yang biasanya sangat kaya data karena punya berbasis data di Belanda, ternyata tidak secara benderang menceritakan Kongres ini. Bahkan tidak menyebut sama sekali jika kongres Boedi Oetomo pada 1917 diselenggarakan di Kauman. selanjutnya halaman 2…