PWMU.CO-Banyuwangi yang memiliki dua gunung berapi yakni Ijen dan Raung menempati posisi pertama di Jawa Timur sebagai daerah rawan bencana gempa vulkanik. Setelah itu diikuti oleh Kabupaten Jember, Lumajang dan Malang.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyuwangi Drs Eka Muharram Suryadi kepada 30 pandu Pengenal Hizbul Wathan MTs Al Hikmah Pakis Duren dalam sosialisasi dan edukasi kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana, Sabtu (27/10/2018).
”Jika skala nasional Banyuwangi di posisi ke-11 daerah rawan bencana gempa vulkanik,” kata Eka Muharram.
Dia menjelaskan, potensi bencana di Indonesia delapan kali lebih besar dari negara lain. Penyebabnya posisi Indonesia dikelilingi oleh tiga lempengan yakni Auresia, Indopasifik dan Indo Australia sebagai penyebab gempa tektonik.
Ditambah wilayah negara kita berada dalam lingkup ring of fire sebagai penyebab gempa vulkanik. Ini dibuktikan dengan banyaknya gunung berapi aktif.
Dalam paparannya, pria kelahiran Sukabumi yang bersekolah Muhammadiyah ini menyampaikan cara menghadapi gempa, likuifaksi, dan perlengkapan apa saja yang harus tersedia dalam family kid. Permukiman dan gedung di Banyuwangi ada yang berada di atas lahan urukan rawa yang berpotensi tinggi terjadi likuifaksi.
“Menghadapi gempa, sikap kita harus tenang dan banyak berdoa. Ini untuk meminimalisasi kepanikan dan menghindari risiko jatuhnya korban,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, hindari berada di bawah pohon, menara, tembok, dan sebagainya. Jangan tergesa-gesa masuk kembali ke dalam rumah. Pastikan tidak ada gempa susulan.
Selain itu family kid juga harus siap. Tujuannya antisipasi bila keadaan tidak memungkinkan dan bantuan datang terlambat. Isinya senter, radio atau alat komunikasi, makanan suplemen (biskuit, mi instan, air mineral), pakaian ganti.
“Bagaimana kita mengetahui besar kecilnya gempa, Pak? Apa yang dimaksud dengan likuifaksi?” tanya Zulfa, siswi kelas 9.
“Untuk mengetahui besar kecilnya gempa bisa diukur dengan alat seismograf. Frekuensi gempa di dunia terbagi dalam empat kategori yakni mikro, minor, kuat dan besar,” kata Eka menjelaskan.
Gempa mikro besarnya kurang dari 2,0 Skala Richter terjadi sebanyak 8.000 kali perhari atau setara dengan berat 15 kg bahan peledak namun tidak terasa. Tidak menimbulkan kerusakan.
Sedangkan gempa kuat, besar skalanya 6,0-6,9 Skala Richter atau setara dengan 32 mega ton bahan peledak. Menimbulkan kerusakan dan korban. Terjadi sebanyak 120 kali pertahun.
“Sementara likuifaksi adalah proses pencairan tanah yang terjadi akibat berat jenis tanah yang lebih besar dari air sehingga menyebabkan tanah menjadi lumpur,” ujar dia memaparkan.
Setelah penjelasan, para siswa melakukan simulasi menghadapi gempa sebagai kesiapsiagaan jika benar-benar terjadi bencana. Simulasi bertujuan mengurangi risiko korban. (Yulia)