PWMU.CO – Bina Keluarga Balita (BKB) adalah satu dari lima upaya yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) dalam menyelesaikan kasus perkawinan anak yang acapkali terjadi di Jatim. Hal ini disampaikan Istri Wakil Gubernur Jawa Timur Dra Hj Fatma Saifullah Yusuf dalam Dialog Publik “Perkawinan Anak: Pencegahan dan Dampak”, di Hotel Vasa, Surabaya, Kamis (22/11/18).
“BKB ini kita membina bagaimana pola asuh anak yang benar untuk keluarga muda. Upaya kedua yang kita lakukan adalah membentuk dan membina Forum Anak Nasional. Tentunya sebagai media komunikasi pemenuhan hak partisipasi anak,” ungkapnya.
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Jawa Pos bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia itu, dia menegaskan upaya selanjutnya yang telah dilakukan adalah sosialisasi perlindungan anak, capacity building remaja, dan bina keluarga setara di 10 kabupaten/kota.
“Maka dari apa yang telah kami lakukan itu, rencana ke depan adalah peningkatan parenting, peningkatan pendidikan reproduksi di pondok pesantren, serta tetap melanjutkan capacity building remaja,” jelas Ketua Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Jatim ini.
Dia mengaku pernikahan usia anak menjadi masalah serius di Jatim mengingat data tahun 2016 masih ada lima kabupaten/kota yang pengajuan dispensasi menikah perempuan di bawah 16 tahun masih relatif tinggi.
“Ada Bondowoso dengan angka 50,20 persen, disusul Situbondo 43,79 persen dan Probolinggo 41,18 persen. Di urutan keempat ada Sampang di angka 35,37 persen. Dan yang terakhir Sumenep 33,87 persen,” tuturnya.
Pada diskusi publik yang diselenggarakan dalam rangka Hari Anak Sedunia itu, dia menyebutkan faktor pendidikan, budaya, dan perjodohan berpengaruh pada terjadinya pernikahan anak di masyarakat.
“Remaja yang mencoba-coba melewati aktivitas sosial mereka dengan berpacaran, lalu dengan pemahaman reproduksi yang kurang, mereka mendekat ke arah penyalahgunaan organ reproduksi,” ulasnya.
Ibu dari empat putra ini juga menyebutkan kemiskinan merupakan faktor yang turut menyumbang alasan di balik perkawinan usia anak.
“Kondisi ekonomi yang lemah menjadi alasan orang tua menikahkan anaknya. Ini adalah sebuah praktik untuk mengurangi beban biaya yaitu pendidikan. Ada juga yang menikahkan anak sebagai pembayar hutang keluarga,” ucapnya.
Di hadapan peserta diskusi publik yang berasal dari komunitas perempuan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan aktivis pemerhati perempuan dan anak, dia menyampaikan ada etnis di Jatim yang punya pemahaman lain.
“Ada yang berasal dari Madura?” tanya Fatma Saifullah Yusuf pada peserta disambut jawaban riuh para peserta.
“Di Madura, sudah menjadi tradisi adanya perjodohan sejak kecil. Nanti saat sudah akil baligh, dinikahkan. Orang tua takut jika tidak nikah, akan menjadi pergunjingan masyarakat. Apalagi agama memperbolehkan menikah untuk menghindari zinah. Ini menjadi pendorong dilegalkannya pernikahan usia anak,” ujarnya.
Dia berharap, seluruh kabupaten/kota di Jatim bisa mengampanyekan stop pernikahan anak dan bersama-sama bergerak mendukung revisi undang-udang tentang batasan usia pernikahan. (Ria Eka Lestari)