PWMU.CO – Ini sekadar pengandaian. Seumpama saya bisa mengikuti acara hingga tuntas, Pak Hakim—sapaan akrab Moh. Nurhakim, dosen senior Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Ketua Mejelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim—tidak perlu ke Jakarta, menghadiri “Regional Workshop on Religious Education and Prevention of Violent Extremism in Diverse Societies in Souteast Asia: Lessons Learned and Best Practice”, di Ayana MidPlaza Hotel, Jakarta.
“Your experience and expertise will be extremely to the discussion, and we hope that you be able to participate. (Pengalaman dan keahlian Anda akan sangat penting untuk diskusi, dan kami berharap Anda dapat berpartisipasi, Red),” begitu alasan UNDP-PPIM UIN Jakarta mengundang saya pada acara tersebut yang diselenggarakan 21-23 November 2018. Tentu saya menyanggupi untuk hadir, tetapi hanya bisa satu hari, 21 November saja, karena saya harus mempertimbangkan beberapa pekerjaan di kampus, apalagi jelang wisuda.
“Dear Mr. Syamsul Arifin, thank you for your confirmation. Regarding the workshop, do you have any other recommended participant to attend the whole workshop from Malang? Your kind cooperation is highly appreciated. (Kepada Bapak Syamsul Arifin, terima kasih atas konfirmasinya. Mengenai workshop, apakah Anda memiliki peserta lain yang direkomendasikan untuk menghadiri seluruh lokakarya dari Malang? Kerja sama yang baik dari Anda sangat kami hargai, Red).”
Rupanya panitia betul-betul mengharapkan kehadiran apa yang disebut panitia “orang yang memiliki keahlian” terkait dengan isu yang diangkat pada workshop. Saya segera menghubungi Pak Hakim, bahkan memberi disposisi kepadanya. Bahasa saya tidak serta merta “instruktif”, misalnya, “Harap dihadiri”. Tetapi saya menyisipkan dua kata, “Kalau tertarik.”
Kenapa Pak Hakim? Disertasi Pak Hakim sewaktu merampungkan studi doktoralnya di negeri jiran, Malaysia, adalah tentang salafisme. Lalu kedua, Pak Hakim adalah ketua program studi doktor Pendidikan Agama Islam. Setidaknya karena dua alasan itu, saya menghubungi Pak Hakim.
“Pak Hakim, coba diatur keberangkatannya ke Jakarta pada Selasa malam agar bisa bersama dengan saya. Saya ingin ngobrol banyak,” pinta saya via telepon WhatsApp.
Saya menangkap keraguan Pak Hakim bisa bersama saya. Lalu diurailah sekian agenda hingga Selasa malam sehingga Pak Hakim betul-betul bisa berangkat ke Jakarta pada Rabu pagi. Sudahlah, toh nanti, pada Rabu mulai pagi hingga sore saya bisa ketemu dan ngobrol dengan Pak Hakim, sebelum saya meninggalkan acara pada sore, hari itu juga. Saya membatin seperti itu.
Mendekati area parkir pesawat yang saya tumpangi dari Surabaya, kira-kira jam sembilan malam lewat beberapa menit, saya membuka handphone. Saya tertuju pada pesan dari sekretaris Pak Rektor— saya biasa memanggil Mas Hariyadi. “Sesuai arahan Pak Rektor…,” biasanya seperti itu awal kalimat Mas Hariyadi jika menyampaikan informasi atau disposisi agar saya mewakili Pak Rektor bila beliau sendiri ada kegiatan lain.
Kamis pagi, 21 November, jam 09.00, saya diminta menghadiri launching program pemagangan bersertifikasi yang digelar PT Barata Indonesia di Gresik.
Saya menimbang dan memilih menghadiri acara di Gresik. Itu berarti, saya harus mencari dan mendapatkan penerbangan pertama di pagi hari. Dengan tetap menunggu hasil pencarian Mas Indra, saya coba menghubungi bagian ticketing Garuda, tetapi nihil hasilnya. Namun, informasi berikut ini membuat saya surprised: “Pak, ini ada tiket penerbangan Jakarta-Surabaya, jam 04.30, Bapak diharapkan jam 03.00 berangkat dari hotel,” Mas Indra memberi tahu via telepon.
Antara lain karena menunggu tiket itu, sejak jam 22.00 saya sulit memejamkan mata di hotel. Apalagi setelah menerima telpon dari Mas Indra tentang tiket pada jam 01.00 dini hari. Saya tidak berani tidur karena khawatir bangun melampaui waktu yang diminta Mas Indra.
“Pak Hakim, saya baru mendarat di Surabaya dan mau ke Gresik. Saya tidak bisa ikut regional workshop. Pak Hakim saja ikut hingga selesai,” telepon saya ke Pak Hakim begitu baru mendarat di Surabaya sekitar jam 08.15, Rabu pagi.
“Ya, saya sekarang menunggu boarding. Saya sudah di Abdurrahman Shaleh,” jawab Pak Hakim.
Kamis malam, sekitar jam 22.00. Saya terkaget-kaget ketika Razes, anak bungsu saya, membangunkan saya yang tertidur di sofa, ruang keluarga. “Yah, barusan Mbak Mega WhatsApp aku, ayah diminta menghubungi Bu Hakim, isteri Pak Hakim,” kata Razes.
Lho, kok Mega? Ada apa dengan Bu Hakim? Selepas Isya, maunya istirahat sambil leyeh-leyeh di sofa, sambil juga menikmati acara the Voice Indonesia, ternyata saya tertidur, sementara hp saya berjarak sekitar 9 meter dengan saya: hp saya biarkan tergeletak di ruang kerja, perpustakaan saya.
Ternyata beberapa kali ada miscallled. Beberapa rangkaian pesan via WhatsApp dari lima nomor berbeda, masuk ke hp saya: tiga dari panitia, dua dari Bu Hakim dan Amel, sulung Pak Hakim.
Belum puas konfirmasi dengan Bu Hakim dan Amel, saya coba menghubungi panitia di Jakarta, salah satunya Dani dari UNDP. Dari Dani inilah, saya bisa merekonstruksi kondisi Pak Hakim sebagai berikut:
⁃ Kamis malam, sekitar jam 19.30, petugas house keeping yang melewati kamar Pak Hakim, mendengar suara orang mengorok lumayan keras. Terdengar pula suara tv.
⁃ Penasaran, house keeping coba mengetuk, tetapi tidak ada respons.
⁃ House keeping mengambil inisiatif membuka pintu. Di dalam kamar Pak Hakim sudah tidak sadarkan diri.
⁃ House keeping menghubungi panitia.
⁃ Panitia segera mengevakuasi Pak Hakim ke RS terdekat: RS Syahid Sahirman.
⁃ Pemeriksaan sementara, tensi Pak Hakim mencapai 215 atau 219.
⁃ Atas saran RS, Pak Hakim dirujuk ke RS yang lebih memadai. Semula ke Seloam, tetapi dibawa ke RS Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta.
⁃ Berdasarkan CT Scan, Pak Hakim dinyatakan mengalami hemorhagic stroke.
Kronologi itulah yang saya sampaikan ke pimpinan FAI UMM pada malam itu juga, dan kepada pimpinan universitas serta kepala biro selepas Subuh tadi.
Saat catatan harian (cahar) ini ditulis, kondisi Pak Hakim masih di ruang ICU dan dalam keadaan belum sadar. Kita semua menunggu update dari Pak Agus Purwadi, Wakil Dekan 1 FAI yang menemani Bu Hakim ke Jakarta.
Kita semua berdoa untuk Pak Hakim. (*)
Malang, Jumat, 23 November 2018
Kolom oleh Prof Dr Syamsul Arifin MSi, Wakil Rektor I UMM.