PWMU.CO – Kepedulian Yayasan Literasi Anak Nusantara (Litara) akan kelestarian bahasa lokal melatarbelakangi lahirnya ide terjemahan buku anak berbahasa lokal. Hal ini disampaikan penerjemah profesional dan penulis buku anak Eva Nukman dalam Lokakarya Penerjemahan Buku Anak, di Gedung Rektorat Lantai 11 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Kampus Lidah Wetan Surabaya, Senin (26/11/18).
“Membuat buku anak dengan bahasa ibu, yaitu bahasa yang dekat dengan anak sehari-hari dapat lebih merangsang ketertarikan anak-anak untuk suka membaca utamanya di daerah terpencil yang kemungkinan besar masih belum mengenal bahasa Indonesia dengan baik,” tutur wanita yang telah mengadakan workshop serupa di Politeknik Negeri Bandung tahun 2017.
“Workshop itu diikuti 40 peserta dari unsur mahasiswa, ibu rumah tangga, penerjemah pemula, dan aktivis yang berhasil membuat 36 naskah,” ujar Eva, sapaannya.
Perempuan asal Minangkabau ini menambahkan Litara juga melatih 65 calon penerjemah buku anak yang terdiri atas mahasiswa, ibu rumah tangga, dosen, dan pakar linguistik di Politeknik Negeri Padang.
“Di tahun 2018 kita lanjut penerjemahan buku anak ke dalam bahasa Minang. Dari workshop ini dihasilkan 70 naskah,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, penerjemahan bahasa Minang itu dilanjutkan dengan bahasa Jawa seperti yang dilakukan saat ini dan ke depan akan diterjemahkan juga ke dalam bahasa Madura.
Di hadapan 60 peserta yang lolos seleksi manuskrip bahasa Jawa, Eva berpesan, konten buku anak harus berkualitas, sekali pun itu terjemahan.
“Kita sering mendengar minat baca anak Indonesia itu rendah. Anak Indonesia terpengaruh gadget. Lha kalau anak pedalaman nggak mungkin bawa gadget. Yang ada adalah kelangkaan buku anak. Kualitas, apa lagi, semakin langka buku anak yang berkualitas,” pesannya.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menegaskan Litara membantu anak-anak Indonesia mendapat akses buku anak berkualitas.
“Kalau ingin isi bukunya berkualitas, maka sentuh penulisnya, sentuh kreatornya, sentuh penerjemahnya. Itulah yang dilakukan Litara,” tegasnya.
Dalam lokakarya bertema “Membaca Dunia Anak”, Eva menyebutkan lima hal yang telah dilakukan Litara, di antaranya pelatihan penulis dan ilustrator.
“Kreasi buku juga kita beri penghargaan khusus. Donasi buku, pelatihan guru, serta literasi untuk guru dan warga desa di daerah terpencil,” lanjutnya.
Perempuan penggagas Litara pada 2014 itu menceritakan pengalamannya menemui anak-anak di pedalaman Malinau, Kalimantan.
“Semalam saya baru datang dari Malinau. Anak-anak di sana baru pertama kali lihat buku bacaan selain buku pelajaran. Dan mereka belum bisa membaca. Maka Litara melatih guru dan warga desa untuk mendirikan pojok baca di kampung,” jelasnya.
Pusat Studi Literasi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unesa bekerjasama dengan Yayasan Litara dan The Asia Foundation mengawal lokakarya ini dengan bantuan lima mentor dari unsur penerjemah profesional dan penulis buku anak. Mereka adalah Dina Begum, Krismariana, BE Priyanti, Dian Kristiani, dan Anna Farida.
Lokakarya penerjemahan buku anak ini berlangsung dua hari, Senin-Selasa (26-27/11/18). (Ria Eka Lestari)