PWMU.CO – Kaos dalam, dan juga celana dalam, yang saya beli pada Senin malam (26/11/18), hanya beberapa langkah dari Swissbell-Hotel, dekat Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, saya katakan, “Ini termahal.”
Sontak dua kawan saya melepas tawa. Sambil berkata begitu, berkelebat uang jutaan rupiah di benak saya. Jika bukan karena terpaksa, dua barang itu tidak akan dibeli. Kenapa bisa begitu mahal, bahkan termahal?
“Jam berapa penerbangan ke Surabaya?” Tanya saya ke Pak Dicky, setelah keluar dari ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta. Kami—saya beserta Pak Dicky dan Pak Baiduri—tidak bisa berlama-lama di ruang ICU, tempat Pak Hakim, sapaan Moh. Nurhakim, dirawat secara insentif yang terserang stroke hemoragik, setelah ditemukan tidak sadarkan diri di salah satu kamar Hotel Ayana MidPlaza, Jakarta, Kamis (22/11/18) malam.
Kondisi Pak Hakim pada Senin sore itu, stabil. Kata stabil, saya kutip dari Bu Hakim. Kata ini, saya kira bisa menjelaskan kondisi Pak Hakim setelah diambil tindakan pertama, operasi penyedotan darah pada Jumat malam, dan tindakan kedua, tiga hari berikutnya, berupa CT brain, CT angio serta trakeostomi—operasi pembukaan atau pembuatan lubang yang dilakukan pada pada batang tenggorokan atau trakea, melalui sayatan pada kulit di leher bagian depan untuk memudahkan pernafasan.
Di ruang ICU, wajah Pak Hakim terlihat segar, seturut dengan wajah keseharianya. Ada respons motorik, kaki bergerak, tidak lama setelah kami memegang tangan dan kaki Pak Hakim. Saya menyulam harapan, kendati kedua mata Pak Hakim masih belum terbuka. Kondisi ini masih merupakan fase krusial Pak Hakim.
Masih kata Bu Hakim, perkembangan Pak Hakim perlu dilihat per pekan, tidak bisa dihitung per hari. Itu artinya, Pak Hakim membutuhkan masa perawatan yang cukup lama. “Kami mohon dukungan doanya Pak,” pinta Bu Hakim dengan nada yang tenang, pertanda suasana kebatinan yang stabil.
Semesta UMM mendukung, semesta UMM berdoa untuk Pak Hakim. Saya menyebutnya demikian. Sebelum memulai pertemuan yang melibatkan BPH (Badan Pembina Harian), rektorat dan para kepala biro, Jumat sore yang lalu, sehari sebelum prosesi wisuda di UMM (24/11/18), Pak Malik Fadjar meminta kepada Ustadz Haris memimpin doa untuk kesembuhan Pak Hakim. “Kita semua mengharap ada mukjizat, keajaiban,” kata Pak Malik selepas dari doa bersama.
Tiga jam sebelum acara itu, di depan dosen-dosen senior UMM yang menghadiri undangan persiapan konsinyering percepatan guru besar, hal yang sama dilakukan. “Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, mari kita silence, hening sejenak, kita panjatkan doa untuk kesembuhan Pak Hakim,” saya memimpin doa sebelum acara bermula.
Semua Group WhatsApp, setidaknya di mana saya menjadi anggota, dukungan mengalir untuk Pak Hakim. Ramai juga dukungan yang dikirim secara pribadi (japri) kepada saya.
Sebagian dari dukungan itu, ada banyak kawan yang menyempatkan mampir ke RS Abdi Waluyo, selepas menghadiri acara di Jakarta. Tampak Pak Tulus dan Pak Latipun dalam foto yang dikirim Pak Agus Purwadi ke Group WhatsApp FAI Bahagia. Sejak Jumat Pak Agus telah berada di Jakarta, menemani Bu Hakim.
“Bu menteri datang bezuk Pak Hakim,” Pak Agus mengirim update lagi, disertai foto. Bu menteri yang dimaksud adalah isteri Pak Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang berkunjung ke RS, ditemani Staf Khusus Menteri, Mas Nasrullah.
“Prof Malik sudah di RS Abdi Waluyo,” informasi yang disertai foto ke group WhatsApp, kali ini berasal dari Pak Syarif, Wadek II FAI yang menyusul ke Jakarta, menggantikan Pak Agus Purwadi dan Prof Tobroni, Dekan FAI. Prof Malik yang dimaksud, tentu adalah Pak A. Malik Fadjar, Ketua BPH UMM dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Prof Tobroni beberapa kali mengirim update, disertai permintaan afirmasi dan doa.
Semua berdoa, semua memberikan dukungan untuk kesembuhan Pak Hakim. “Saya ingin memberikan kesaksian atas semua kebaikan, bahkan kebajikan Pak Hakim,” sampai pada kalimat ini, suara saya berubah serak dan tidak bisa menahan jatuhnya air mata saya.
Tampak beberapa dosen FAI dan berapa isteri dosen, juga tidak bisa menahan air mata. Di hadapan mereka, di rumah Ustadz Ahda, pada saat arisan keluarga FAI, Ahad siang yang lalu, saya sebenarnya ingin melanjutkan dengan bernarasi ihwal kebaikan Pak Hakim yang karenanya siapa pun yang mengenal salah seorang dosen senior FAI UMM itu, terkejut dan berikutnya muncul welas asih, kemudian mendoakannya.
Beberapa tahun silam, di sebuah kamar tidur bersahaja, masih dalam satu lokasi dengan Kantor Pimpinann Pusat Muhammadiyah Jakarta, Pak Hakim larut dalam suasana silence, hening, dengan posisi duduk agak miring ke kiri. Pak Hakim tidak mengubah duduk tasyahud akhir, kendati baru saja usai shalat malam. Saya terbangun beberapa menit jelang adzan Subuh berkumandang. Karena itu saya tahu, Pak Hakim baru saja usai dari qiyamul lail.
Pak Hakim rupanya membiarkan dirinya dalam “ruang private”, sedikit pun tidak ingin mengusik deep sleep saya. Kalau dalam kondisi safar, perjalanan, Pak Hakim tetap mengakrabi qiyamul lail, entah kata apa yang ingin saya gunakan untuk mendeskripsikan cara Pak Hakim mengakrabi kehidupan sepertiga malam, pada saat tidak bepergian, atau di rumah. Fragmen ini yang sejatinya ingin saya sisipkan. Tetapi saya tidak bisa melanjutkannya karena terlanjur didahului oleh air mata.
Saya diliputi perasaan lega karena pada akhirnya bisa menjenguk dan mengetahui secara langsung kondisi terkini Pak Hakim , Senin sore kemaren. Di ruang ICU, saya memejamkan mata, coba berkonsentrasi, menyatukan diri, memusatkan perhatian pada Pak Hakim, menghadirkan Yang Maha Kuasa. Saya melafadzkan doa dengan terlebih dahulu membaca ayat-ayat pendek, sekali lagi, untuk kesembuhan Pak Hakim.
Memang tidak terlalu lama, tetapi mudah-mudahan memberikan efek memadai terhadap penambahan spirit kepada keluarga Pak Hakin, dan tentu saja kepada kesembuhan Pak Hakim. Kami tidak bisa berlama-lama karena kata Pak Dicky, pesawat akan boarding pada 19.30, sementara kami masih di RS pada 18.30 WIB.
Jarak dari RS ke Bandara Halim Perdana Kusuma tidak terlalu jauh. Tetapi ini Jakarta, apalagi jam 18.30 merupakan puncak kemacetan di Jakarta. Jam 19.30, waktu boarding, kami masih menyelesaikan separuh perjalanan. Kemacetan di semua ruas jalan adalah biangnya. “Maaf Pak, pesawat sudah close. Bapak ditinggal pesawat,” kata petugas check in Batik Air. Kami tiba persis di depan petugas itu pada jam 20.25. “Apa tidak bisa dikondisikan Pak,” kami coba negoisasi. “Tidak bisa pak,” tegas petugas.
Itu berarti, kami harus mencari tiket baru. Dan itu berarti pula, kami harus mencari penginapan karena baru bisa terbang keesokan paginya dengan Lion Air, dari Jakarta ke Malang.
“Kita perlu mencari kaos dalam dan celana dalam,” kata Pak Dicky. Tidak ada yang menolak dengan ajakan Pak Dicky karena kami memang tidak bawa baju ganti.
“Ha…ha…ha…ini kaos dan celana termahal yang pernah saya beli,” ujar saya ke Pak Dicky dan Pak Bai.
Kami semua tertawa di mini market, dekat hotel. Kami tertawa, menghibur diri. Kami coba menciptakan ruang gembira kendati perasaan sedih tetap bergelayut karena sakitnya Pak Hakim.
Cepat sembuh Pak Hakim! (*)
27 Nopember 2018, ditulis dalam penerbangan dengan Lion Air dari Jakarta-Malang.
Kolom oleh Prof Dr Syamsul Arifin MSi, Wakil Rektor I UMM.