PWMU.CO-Komunitas Wanita Muda Muhammdiyah UMSurabaya menggelar diskusi Wanita Memandang Kekerasan Seksual di kampus Sutorejo, Senin (26/11/2018).
Acara ini rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan (HAKTP) dimulai 25 November-10 Desember 2018.
Kampanye ini menjelaskan, kekerasan seksual bukan hanya pemerkosaan. Termasuk ungkapan verbal godaan seperti chat calling seks yang membuat perempuan tidak nyaman, rayuan. Panggilan cantik, siulan, dan ucapan lain yang mengganggu.
Hadir sebagai pembicara Aristiana Prihatining Rahayu SSos M Med Kom. Bu Aris, demikian sapaan akrabnya, bercerita dua anak perempuan korban kekerasan seksual yang sekarang ditanganinya.
”Mereka anak jalanan korban kekerasan seksual yang kasusnya tak sempat disentuh oleh hukum. Mereka depresi berat. Bahkan nyaris ingin mengakhiri hidupnya,” katanya.
Dia memaparkan, anak jalanan menjadi subjek lemah yang kurang diperhatikan dan sangat rentan dengan kekerasan seksual. ”Ini dapat menjadi refleksi bahwa di tengah hingar bingar prestasi pemerintah Surabaya di tingkat nasional dan internasional, ada kepahitan yang ditutupi. Realitas kasus kekerasan seksual terhadap anak jalanan,” tuturnya.
Kasus kekerasan seksual dalam lingkup kampus juga alami jalan buntu dalam penanganan hukumnya. Menurut dia, ini bisa diakibatkan oleh hukum yang tak berpihak pada korban dan budaya victim blamming.
”Para korban kekerasan seksual yang berani bicara sering dipersalahkan oleh keluarga, masyarakat, juga aparat saat proses penanganannya. Ada revictimisasi pada korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan,” tandasnya.
Dia menambahkan, tak jarang korban malah disalahkan. ”Dianggap kegenitan. Salah sendiri pakai pakaian minim, salah sendiri jalan sendiri malam-malam. Padahal, orang berjilbab pun juga rentan mengalami kekerasan seksual,” katanya.
Menurut dia, ayat imbauan berjilbab dan menutup aurat perlu ditafsir ulang. Agaknya, ada kesalahpahaman pada masyarakat muslim Indonesia bahwa ayat ini seolah-olah hanya menertibkan perempuan. Padahal laki-laki diminta juga untuk menertibkan dirinya.
Pembicara lainnya Arin Setyowati MA menambahkan, ayat tentang jilbab tidak hanya menertibkan perempuan tetapi juga menertibkan laki-laki. ”Maka tafsiran ulang atas ayat ini bisa berarti bahwa perempuan dan laki-laki perlu gerak bersama untuk penghapusan kekerasan seksual. Karena tentu tak dapat dielakkan laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual,” tuturnya. (Tari Oak)