PWMU.CO – Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Suparman Marzuki menyampaikan beberapa catatannya terkait dengan pendirian Lembaga Bantuan Hukum Muhammadiyah (LBHM).
Suparman mengatakan, catatan pertama adalah pendirian LBHM tidak boleh seperti halnya membuka warung makan, yang menunggu orang datang baru dilayani.
“Jangan sampai kita menunggu ada yang datang minta bantuan, baru kita lakukan proses pendampingan hukum. Kita harus jemput bola dan responsif. Tapi, jangan pula kita cari-cari,” katanya dalam sesi materi acara Sarasehan Nasional dan Pembentukan LBHM.
Acara tersebut diadakan oleh Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (1/12/18).
Suparman pada kesempatan itu diminta memaparkan materi tentang “Ideologi Advokasi dan Strategi Bantuan Hukum Struktural”.
Suparman melanjutkan, catatan kedua, LBHM sangat mungkin bisa jadi kuat karena Muhammadiyah memiliki sumber daya cukup melimpah dengan banyaknya perguruan tinggi yang dimilikinya. Muhammadiyah juga memiliki struktur yang kuat dari pusat hingga ranting. “Nah, LBHM harus bisa manfaatkan itu semua,” paparnya.
Ketiga, kata dia, pemberian bantuan hukum yang dilakukan LBHM tidak boleh hanya berdasarkan belas kasihan atau sekadar charity semata. Tapi bantuan hukum itu diberikan untuk melindungi hak-hak orang miskin yang lemah dan rentan jadi korban sistem.
“Kalau LBHM ini diperuntukkan untuk siapa saja, maka kelompok minoritas, disabilitas, dan mereka yang termarjinalkan oleh sistem harus jadi perhatian kita,” tegasnya.
Keempat, LBHM harus melibatkan berbagai disiplin ilmu. Sebab, persoalan dan penyelesaian kasus hukum tidak bisa berdiri sendiri. “LBHM jangan hanya diisi orang hukum saja. Harus lintas disiplin ilmu,” urainya.
Kelima, sebut dia, LBHM juga harus masuk pada proses pembuatan peraturan hukum, yakni pada wilayah advokasi pembuatan regulasi, deregulasi dan jihad konstitusi. Bukan hanya fokus pada penegakan hukum saja.
“Saat ini, penggunaan hukum di negeri ini sudah overdosis. Jadinya, hukum dirasa tidak bisa menyelesaikan masalah. Malah nambah masalah,” kritiknya.
Keenam, LBHM tidak boleh reaktif seperti halnya pemadam kebakaran dalam menangani sebuah permasalahan hukum. Tapi haruslah responsif, emansipatoris, dan berupaya mendorong adanya persamaan di mata hukum.
“Cara kerja LBHM itu haruslah bisa memadukan statement yang kuat dengan didukung bukti kuat, jejaring kuat, dan tindakan advokasi ataupun lainnya.
Di akhir, ia mengingatkan, pentingnya menjaga idealisme dari para pelaku bantuan hukum. Pasalnya, sekarang ini idealisme para pelaku bantuan hukum sangat lemah. Bahkan, mereka terjebak pada populisme diri.
“Jangan sampai kita terjerembab pada wilayah suka cuap-cuap saja. Tapi tidak serius menangani masalah. Itu parah,” pungkasnya. (Aan)