PWMU.CO – Banyak yang mengira media adalah organisasi sosial yang seharusnya setia kepada idealisme. Padahal, media adalah perusahaan yang—tidak ada bedanya dengan perusahaan-perusahaan lain—bertujuan mencari untung.
Banyak yang mengira pemimpin redaksi adalah pengambil keputusan tertinggi yang menentukan berita apa saja yang bisa ditayangkan atau tidak. Padahal, penguasa tertinggi dalam organisasi media adalah pemilik (owner). Dia yang menentukan arah kebijakan redaksi media.
Sang owner yang menentukan berita ini boleh tayang, berita itu jangan tayang. Otoritas yang dimiliki oleh pemimpin redaksi tidak terlalu besar, karena levelnya hanya setara dengan kepala divisi. Kalau agak beruntung levelnya dinaikkan menjadi wakil direktur, atau, naik lagi menjadi direktur pemberitaan.
Ada juga—meskipun hanya satu dua—yang diangkat menjadi direktur utama. Tapi, di atas direktur utama masih banyak berjajar para bos, mulai dari komisaris, komisaris utama, dan komisaris paling utama yakni sang owner.
Ada pula pemimpin redaksi yang beruntung mendapat hadiah saham dari perusahaan. Tapi, paling banter hanya beberapa persen saja sehingga otoritasnya pun terbatas.
Banyak yang mengira bahwa wartawan beda dengan pekerja lainnya, karena wartawan bekerja berdasarkan idealisme yang dipandu oleh kode etik jurnalistik. Padahal, praktiknya, wartawan diperlakukan sama dengan pekerja lainnya dalam hal jenjang kepangkatan, sistem penggajian, tunjangan, bonus, pensiun (kalau ada), dan sistem remunerasi lainnya.
Sama dengan karyawan lainnya, kinerja wartawan diukur dengan KPI (key performance indicator), berapa banyak dalam sehari berita disetorkan dan berapa banyak yang ditayangkan. Dia harus mengisi presensi dengan finger print dan kalau sakit harus ada izin dokter.
Ada perusahaan media yang memberi tunjangan ekstra kepada wartawan, untuk membedakannya dari karyawan lain. Tapi, dalam sistem pemberian bonus, wartawan diperlakukan sama dengan karyawan lainnya. Mereka akan mendapat bonus kalau perusahaan laba. Kalau perusahaan tidak laba wartawam tidak akan dapat bonus meskipun prestasi jurnalistiknya hebat.
Banyak yang mengira wartawan tidak boleh menerima amplop. Anda benar. Kode etik jurnalistik melarang wartawan menerima pemberian dalam bentuk apapun supaya menurunkan atau tidak menurunkan berita.
Banyak yang mengira wartawan bergaji (lumayan) tinggi. Padahal, banyak yang seperti pekerja pabrik digaji UMR, dan banyak sekali yang tidak bergaji tetap. Karena itu berat sekali menghadapi godaan amplop. Apalagi para penyuap menyebut amplop dengan sebutan macam-macam supaya tidak dianggap menyuap. Ada sebutan uang kopi, uang lelah, uang transpor, uang kehormatan, dan masih banyak sebutan lain.
Banyak yang mengira berita tidak bisa diperjualbelikan. Padahal, sekarang banyak sekali cara untuk mengakali berita supaya bisa diperjualbelikan. Ada yang namanya advertorial, pariwara, adv, native ad, dan nama-nama lain untuk menjustifikasi pembayaran. Dengan membayar jumlah tertentu Anda bisa mendapatkan kontrak supaya berita-berita Anda bisa ditayangkan.
Dulu ada teori Tembok Api, Firewall Theory, yang memisahkan aktivitas redaksi dengan urusan bisnis. Di antara keduanya seperti ada tembok api yang tidak bisa ditembus. Sekarang tembok itu sudah tidak ada lagi, atau sudah banyak dibuat pintu bobolan untuk menerobosnya.
Banyak yang mengira pemilik perusahaan media adalah wartawan. Betul. Di zaman old para pemilik media adalah wartawan. Seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, BM Diah, dan berlanjut pada generasi Jacob Oetama, Goenawan Mohamad, dan Dahlan Iskan.
Tapi, di zaman now para taipan media tidak punya latar belakang wartawan. Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Chaerul Tanjung, James Riyadi, Eddy Sariatmaja, Anthony Salim, Erick Thohir. Mereka tak punya latar belakang wartawan dan sulit diminta untuk bisa menghayati idealisme media.
Mereka juga punya partai politik atau berafiliasi dengan kekuasaan untuk membentuk deadly combination, kombinasi maut, antara media, modal, dan kekuasaan politik.
Banyak yang mengira negara mengatur media. Dalam hal kebebasan pers negara tidak boleh mengatur. Tetapi, dalam hal kepemilikan media negara harus mengatur. Dan khusus untuk televisi dan radio negara wajib mengatur karena memakai frekuensi udara yang menjadi milik publik.
Praktiknya, sekarang nyaris tidak ada aturan yang membatasi kepemilikan media. Media-media sekarang menjadi konglomerasi besar sampai ratusan media dan merambah ke bisnis lain di luar media.
Para konglomerat non-media bebas membeli dan menguasai media. Hubungan kepemilikan media saling terkait secara rumit satu dengan lainnya, sehingga satu media dengan lainnya bisa mempunyai bos yang sama pada satu titik.
Di Amerika dan Eropa kepemilikan silang media dilarang oleh undang-undang. Pemilik koran tidak boleh memiliki radio atau televisi, dan sebaliknya. Di Indonesia aturan ada tapi tidak jalan. Seorang pemilik koran bebas memiliki radio, televisi, dan online.
Dulu ada Wali Songo media: BM Diah, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, A. Aziz, A. Hetami, Atang Ruswita, Jacob Oetama, Wonohito, Mohamad Said. Sekarang ada Seven Magnificent penguasa media: Surya Paloh, Edy Sariatmaja, Hary Tanoesoesibjo, Jacob Oetama, Chaerul Tanjung, Ciputra, Erick Thohir. Dulu mereka sakti karena idealisme, sekarang sakti karena modal.
Banyak yang mengira media netral dan objektif. Tidak. Media punya kepentingan politik dan bisnisnya masing-masing. Sering keduanya tak bisa dipisahkan. Kalau peristiwa Reuni 212 tidak diberitakan di sejumlah media, itu karena kepentingan bisnis dan politik.
Kalau ada media yang setiap saat melakukan pemelintiran, sehingga muncul berita Prabowo soal tampang Boyolali, ojek online, soal korupsi stadium empat, dan terbaru soal kekecewaannya terhadap media (5/12), itulah bukti adanya kepentingan bisnis dan politik para pemilik media. (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, Wartawan Senior.