PWMU.CO – Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Amin Widodo mengatakan gempa, gunung meletus, hujan, longsor maupun tsunami merupakan peristiwa alam yang harus terjadi dan akan terus terjadi di muka bumi ini. Tak terkecuali di Indonesia.
Amin menyebutkan, terjadinya gempa misalnya, merupakan bagian dari sistem dinamika bumi itu sendiri. “Jadi, kalau tidak ada gempa, maka tidak akan ada kehidupan,” katanya dalam Diskusi Publik bertema “Peranan Pemuda dalam Aktivitas Pengurangan Risiko Bencana di Surabaya”.
Acara tersebut diadakan Komunitas Pelajar Mengajar PD IPM Kota Surabaya di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Wuni No 09 Surabaya, Ahad (23/12/18).
Amin menerangkan, gempa secara ilmu pengetahuan terjadi karena adanya pergeseran tanah di lapisan litosfer. Mulai dari saling menumbuk, saling menjauh maupun saling bergeser. “Kalau litosfer aktif itu berarti magma di dalam perut bumi juga aktif. Sebab yang mengeser itu kan magma,” jelasnya.
Nah, kata dia, pergeseran magma yang aktif itu kemudian menimbulkan medan elektromagnetik yang bermanfaat untuk menutupi permukaan bumi dari radiasi sinar matahari.
“Jadi magma yang bergerak itu harus terjadi. Konsekuensinya ya terjadi gempa. Jika magma berhenti bergerak, kita tidak akan dapat perlindungan. Kita akan langsung diterjang sinar matahari. Akibatnya kita akan terbakar. Tidak akan ada kehidupan. Tidak akan kita,” paparnya.
Maka dari itu, Amin tidak mau beranggapan bahwa terjadinya gempa adalah karena azab dari Allah SWT. Sebab segala yang diciptaan oleh Allah SWT itu terukur dan mempunyai kadar yang tetap atau tidak bisa berubah.
“Nah, tugas kita harusnya adalah mengukur kadar itu karena masing-masing mempunyai kekuatan, periode dan skala. Bahkan, manfaat,” tuturnya.
Ia mencontohkan, gempa berkekuatan 7 skala richter yang pernah terjadi di negara Jepang misalnya, korbannya hanya 1 orang. Sebaliknya, gempa lebih kecil dengan kekuatan sekitar 6 skala richter yang terjadi di Yogyakarta misalnya, menimbulkan ribuan korban jiwa.
“Masyarakat Jepang itu terlatih karena diajari sejak dini terkait penyelamatan diri dari bencana. Mereka juga membuat bangunan tahan gempa, warning sistem, atau lainnya. Sebab pola pikir mereka satu-satunya cara ya menghadapi potensi bencana itu. Mereka harus bisa bertahan hidup dengan berbagai potensi ancaman bencana yang ada,” ungkapnya.
Nah, sebut dia, apa yang diciptakan oleh Jepang itu ternyata memiliki banyak manfaat untuk umat. Dimana itu seharusnya perlu dilakukan umat Islam Indonesia.
“Mungkin karena kita berfikir bahwa gempa itu terjadi karena takdir. Bahkan, itu azab dari Allah SWT. Jadinya kita hanya bertindak merespon ketika terjadinya bencana saja. Mulai dari menolong orang, mambangun dan lainnya,” kritiknya.
Padahal, lanjut dia, di hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki potensi atau ancaman terjadinya bencana. Sebab Indonesia di lewati tiga lempengan atau sesar. “Kalau Indonesia terus-terusan dihantam bencana, APBN Indonesia bisa kolaps,” ungkapnya.
Pertanyaannya adalah bangsa Indonesia mau tetap seperti ini atau mau belajar dari konsep Jepang? “Kita harusnya mau belajar dan mengkaji dari seluruh kejadian bencana yang terjadi di Indonesia,” ajaknya.
Ia mengungkapkan, Kota Pahlawan dilewati dua sesar aktif atau patahan yang bisa menimbulkan potensi gempa darat cukup besar yaitu sesar Surabaya dan Sesar sesar Waru.
Bahkan, data menyebutkan Kota Surabaya pernah terkena gempa pada tahun 1867 dan pada tahun 1953. Bahkan, pada 12 Oktober 2018 lalu Kota Surabaya mengalami gempa.
“Kalau kita tidak siap dari sekarang, maka dampak terjadinya gempa akan sangat fatal. Kita kan belum bisa mendeteksi kapan gempa itu terjadi,” tandasnya. (Aan)
Discussion about this post