PWMU.CO– Sebanyak 70 persen generasi milenial sekarang ini stres dikarenakan tekanan yang dipaksakan dan berbuat baik yang dituntut oleh berbagai pihak.
Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Eko Hardiansyah MPsi dalam Synergy Building di Aula RA Fachruddin SD Muhammadiyah 1 Ngawi, Sabtu (12/1/2019).
Kegiatan bertema Peningkatan Kualitas Karakter Guru Menuju Sekolah yang Membahagiakan Menyongsong Era Indutri 4.0 diikuti 74 peserta terdiri dari guru, karyawan SD Muhammadiyah 1 Ngawi dan SD Aisyah Gerih.
Eko menjelaskan, tekanan berbuat baik cenderung tidak sadar dilakukan oleh para orang tua atau guru kepada anak-anaknya. Mereka memaksakan anak-anak itu untuk menjadi yang terbaik. Misalnya, menjadi juara kelas dan memberikan iming-iming hadiah.
Sadar tidak sadar, sambung dia, meskipun tujuannya baik, namun hal ini akan menekan sisi psikologis anak untuk berbuat baik dengan pamrih. ”Anak-anak ditekan untuk berbuat baik mengikuti kehendak dan keinginan tersebut. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan permasalahan psikologi yaitu munculnya emosi negatif seperti malas, marah, benci, dendam, sedih, dan takut,” katanya.
Kondisi ini, sambung dia, tentu sangat memprihatinkan, sehingga perlu adanya pengontrolan emosi negatif menjadi emosi positif berupa perasaan bahagia, sabar, dan semangat.
Eko mengatakan, seorang anak akan belajar sesuatu di sekolah dari wajah-wajah bapak atau ibu gurunya.
”Jika anda ingin menghadirkan Allah di diri anak-anak, maka kita tunjukkan melalui perbuatan kita, salah satunya adalah dengan mengkontemplasikan kandungan surat Al Fatihah kepada anak. Hal ini akan menghindarkan diri kita dari sifat pemarah atau bahkan murka kepada anak-anak,” ujarnya.
Pertarungan menahan emosi, sambungnya, tidak bisa dilepaskan dari sifat kasih sayang yang mana ciri-ciri sifat kasih sayang telah dijelaskan secara lengkap di dalam Al Furqon (25) : 67-73.
Dalam kegiatan ini, Eko juga memberikan studi kasus yang harus dikerjakan oleh peserta. Studi kasus ini merupakan bentuk evaluasi diri menggunakan kebiasaan yang merusak dan meningkatkan kualitas hubungan dengan orang-orang di lingkungan sekitar.
Setiap kebiasaan dalam studi kasus diberi skor nilai antara 1-10, semakin maksimal menggunakan kebiasaan maka semakin maksimal pula skornya.
Dia berharap, melalui studi kasus evaluasi diri ini para guru akan menemukan sumber kebahagiaan yang harus dibangun. Sehingga, akan memunculkan kebahagiaan diri yang selanjutnya menjadi semangat baru untuk menyongsong kebahagiaan siswa di dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Di akhir kegiatan dia menjelaskan forgiveness therapy (terapi memaafkan) yang bertujuan untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan. Memaafkan memengaruhi kesehatan lahir dan batin. ”Ketika seseorang mampu memaafkan, akan menghasilkan energi positif yang akan membuat hati nyaman, tenang, ringan, dan bahagia,” tandasnya. (Rizqi)
Discussion about this post