PWMU.CO – Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyoroti dua rancangan undang-undang (RUU) yang tidak pro dakwah dan rancu.
Mu’ti menyampaikan itu dalam acara Konsolidasi Organisasi dan Persiapan Sidang Tanwir Muhammadiyah Tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) di Aula Mas Mansur Gedung l Jatim, Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Ahad (13/1/19).
“Sekarang ini sedang ramai perdebatan rancangan undang-undang (RUU) minuman beralkohol atau yang disebut minol. Perdebatan itu mengenai nama undang-undangnya. Apakah hanya UU tentang minol atau anti-minol,” tuturnya.
Mu’ti menjelaskan pemberian nama dalam undang-undang itu menjadi sangat penting karena memiliki makna substantif bagi pembaca sebelum melihat isinya.
“Jika undang-undang itu antiminuman beralkohol, maka di dalam pasal pasti yang disebut anti. Tapi kalau hanya tentang regulasi minol, isinya bisa jadi legalisasi. Dan itu bahaya,” tegasnya mengenai RUU yang dianggap tidak pro-dakwah itu.
Bagi Mu’ti, produk-produk legalitas yang diputuskan parlemen itulah membuat pentingnya kader Muhammadiyah masuk menjadi anggota legislatif agar mampu menyuarakan dakwah dan kebaikan.
“Jika mendukung legislatif yang pro maksiat, ya undang-undang yang dihasilkan akan berkaitan dengan maksiat. Kalau kita tidak punya speaker di dalam parlemen, akhirnya dakwah kita gak ngefek. Gak nendang. Kita hanya bisa menyuarakan lewat ceramah,” tandas Mu’ti.
Sekarang ini, lanjut Mu’ti, Muhammadiyah sedang menghadang disahkannya RUU Pesantren yang isinya rancu dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
“Bukan karena pesantren itu rata-rata milik kawan sebelah, tapi kita pelajari pelan-pelan bahwa isinya akan kacau jika disahkan. Kita sampaikan kepada DPD, DPR, dan kepada Pak Moeldoko bahwa RUU Pesantren ini tidak perlu dan tidak mendesak untuk disahkan,” tegasnya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan bahwa pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan keagamaan berbasis masyarakat.
“RUU Pesantren itu bertentangan dengan UUD 45 pasal 31. Di Indonesia ini hanya ada satu sistem pendidikan nasional. Satu itu beda dengan suatu. Kalau suatu itu banyak, tapi kalau satu ya hanya satu. Kalau kata Syahirini, sesuatu,” ujarnya disambut gerr hadirin.
Menurut Mu’ti, pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan keagamaan dan berbasis masyarakat yang perintahnya dibuat dalam peraturan pemerintah, bukan undang-undang. Sehingga kalau disahkan itu menyalahi UU yang sudah ada.
“Waktu saya sampaikan ke Pak Moeldoko, saya katakan, ini butuh waktu agak lama untuk mencermati isinya pak, lha wong sidang isbat saja lama,” tuturnya membuat hadirin tertawa.
Selain membahas RUU Minol dan Pesantren, Mu’ti juga sempat menyinggung kebijakan BPJS yang dianggapnya merguikan negara.
“BPJS itu punya hutang kurang lebih 320 miliar kepada Rumah Sakit di Jawa Tengah. Belum Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta. Kita sempat membahas di tataran PP (pimpinan pusat) apakah kita ajukan judicial review saja. Karena BPJS betul-betul tidak punya duit. UU BPJS itu dibuat untuk menjadikan negara bangkrut. Megap-megap,” ungkapnya prihatin.
Mu’ti menegaskan bahwa itulah pentingnya komunikasi politik bagi Muhammadiyah. Maka dia mengimbau agar kader Muhammadiyah menjalankan jihad konstitusi melalui pendekatan-pendekatan politik. Karena perubahan regulasi memiliki pengaruh kuat terhadap dakwah Muhammadiyah. (Nely Izzatul)
Discussion about this post