PWMU.CO-Jika manusia mampu meraih tiga sukses ini maka dia telah mencapai kesempurnaan hidup. Hal itu dikatakan Ketua Ma’had Umar bin Khattab Universitas Muhammadiyah Surabaya Ustadz Basith dalam pengajian PDM-PDA Kab. Pasuruan di Masjid Al Falah Gempol, Ahad (3/2/19).
Menurut Ustadz Basith, sukses yang sempurna itu adalah ketika orang sukses ketika dilahirkan, sukses ketika di alam kubur dan sukses di alam akhirat.
”Tiga kesuksesan itu bisa kita raih maka itulah kesuksesan sempurna,” tuturnya. ”Jangan seperti Firaun yang hanya sukses di dunia saja dengan diikuti pembangunan-pembangunan yang fenomenal namun dia mati dalam kekafiran,” tandasnya.
Ketika kesuksesan dunia jadi prioritas, sambung dia, maka kekuasaan akan dipertahankan mati-matian. ”Firaun bahkan menculik bayi-bayi rakyat untuk mencegah munculnya orang yang akan menghancurkan kedudukannya waupun orang tersebut belum lahir,” katanya.
Dia mengatakan, contohlah kesuksesan Nabi Isa as atau Nabi Yahya as yang diabadikan dalam surat Maryam ayat 14-15. Keduanya senantiasa menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua yang kita kenal dengan istilah birrul walidain.
”Birrul walidain itu penting. Pernahkah kita mendengar istilah durhakalah kamu maka kamu sukses? Tidak seorangpun yang pernah mengatakan tersebut,” katanya.
Dalam ayat itu disebutkan jangan menjadi orang yang sombong lagi durhaka. Jabbaran ‘ashiyya. Orang yang senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi. Karena orang yang sombong sulit diajak menuju kebenaran dan Allah tidak akan memasukkan ke dalam surganya.
Sifat sombong terlihat dalam diri Firaun, yang menolak ajakan Nabi Musa bahkan sampai mengaku sebagai Tuhan. Tetapi di akhir hayat ia bertaubat dengan mengucapkan, aku percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai Bani Israil dan aku termasuk orang berserah diri seperti disebut dalam surat Yunus : 90. ”Tapi taubatnya terlambat. Di hadapan Allah tidak diterima,” ujarnya.
Di akhir ceramahnya dia menyampaikan surat Al Kahfi : 28 yang menegaskan untuk bersabar bersama orang-orang yang beribadah untuk mengharapkan keridhoannya. Tidak hanyut oleh perhiasan dunia yang dapat melalaikan hati mengingat Allah dan berbuat melampui batas. (Miftachuddin)