PWMU.CO – Sejak Ahad hingga Senin yang lalu saya berada di Banyuwangi. Persisnya di Siliragung, Genteng, Kabupaten Banyuwangi, untuk mengikuti Sarasehan Seni, Budaya, dan Sastra yang diselenggarakan oleh Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banyuwangi.
Selama dua hari saya menikmati penampilan seni tari, teater, dan karawitan pelajar-pelajar SD, SMP, dan SMK Muhammadiyah Genteng.
Saya bertemu novelis Viddy Daery asal Laren Lamongan, pencipta Lenong Bocah, pelukis Badri asal Ngopak, Pasuruan, Bu Sri Wahyuni guru seni SD Muhammadiyah 2 Gresik, Prof Ali Imron Wakil Ketua LSBO PP Muhammadiyah dan beberapa tokoh dan guru seni lainnya.
Diskusi dengan mereka menambah data thesis saya bahwa memang praktik pendidikan nasional kita secar sistematik, terstruktur dan masif meminggirkan pendidikan seni. Praktik pendidikan nasional dimonopoli secara radikal oleh persekolahan (dalam Muhammadiyah monopoli ini dilakukan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah) yang memuja sains, teknologi, dan matematika (STEM).
Sementara seni, budaya, dan olahraga yang menjadi ranah kerja LSBO boleh dikatakan dinomorsekiankan. Guru seni adalah guru langka, dan ekspresi seni adalah peristiwa yang langka pula.
Sir Ken Robinson mengatakan bahwa kasus Indonesia ini menambah data kasus-kasus di seluruh dunia, sehingga persekolahan pemuja STEM inilah penyebab krisis sumberdaya manusia selama 50 tahun terakhir. Pendidikan yang diplesetkan menjadi persekolahan jatuh menjadi sekadar instrumen teknokratik bagi pembangunan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja trampil yang bakal dibutuhkan oleh investasi, terutama investasi asing.
Persekolahan tidak pernah dijadikan sebagai instrumen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sinyalemen John Taylor Gatto telah dikonfirmasi oleh Rocky Gerung bahwa persekolahan paksa massal telah menjadi upaya dumbing down of peoples alias pendunguan rakyat secara massal.
Obsesi mutu melalui standar yang menyihir persekolahan telah menelantarkan relevansi sebagai hal yang penting agar pendidikan menjadi sebuah proses belajar yang bermakna. Persekolahan paksa massal sebagai instrumen teknokratik sangat berorientasi pasokan, sehingga menelantarkan kebutuhan belajar yang beragam dari murid yang belajar. Padahal belajar yang bermakna adalah kunci bagi pendidikan sebagai kegiatan budaya.
Demikian itulah pendidikan nasional gagal menyediakan syarat budaya bagi bangsa yang kemerdekaannya telah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Fakta Indonesia modern menunjukkan semakin banyak fakta bahwa kita justru makin kehilangan kemandirian dan kedaulatan di banyak sektor pembangunan. Inilah yang telah dicemaskan oleh Bung Karno: neo kolonialisme dan imperialisme atau nekolim. Salah satu instrumen penjajahan baru itu adalah persekolahan dan bank ribawi. Keduanya merupakan institutional duo nyanyian nekolim.
Ki Hadjar mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah menumbuhkan jiwa merdeka, bukan untuk sekedar membentuk kompetensi, daya saing, bahkan akhlak mulia. Bagi Ki Hadjar, hanya dalam jiwa merdeka itulah kita boleh berharap sikap jujur, amanah, dan peduli bisa tumbuh subur. Kecerdasan adalah buah dari ketiga sikap itu.
Jiwa merdeka hanya mungkin tumbuh jika kehidupan dirumuskan sebagai kesempatan berekspresi melalui berbagai ekspresi budaya. Kemerdekaan menyatakan pendapat—melalui berbagai medium dan bentuk kesenian—adalah salah satu ciri bangsa yang merdeka.
Oleh Amartya Sen, pembangunan bahkan dirumuskan sebagi perluasan kemerdekaan (development as freedom), bukan sekadar penguatan kapasitas produksi dan konsumsi material.
Saya berharap Muhammadiyah memelopori pengarusutamaan seni dan budaya dalam pendidikan nasional. Ekspresi seni penting bagi perkembangan kepribadian yang utuh sehingga posisinya bukan sekadar mubah, tapi wajib bagi pendidikan yang memerdekakan.
Oleh karena itulah pada saat saya menemukan banyak alasan untuk pesimis melihat semakin banyak civil liberty dikorbankan bagi kepentingan security and public order, saya menemukan optimisme di Siliragung saat melihat kecerian generasi muda menampilkan teater Ande-Ande Lumut diiringi orkestra perkusi yang rancak serta suara Bu Waljinah yang merdu. (*)
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.