PWMU.CO – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Haedar Nashir MSi mengatakan, saat ini mulai bertumbuh kecenderungan orientasi politik yang mengeras, sehingga satu sama lain mudah terbelah, berbenturan, dan bermusuhan secara saling berhadapan.
“Orientasi politik yang keras membuat setiap orang menjadi sangat ambisius, sehingga politik menjadi to be or not to be atau urusan hidup dan mati. Bersamaaan dengan itu ditanamkan pandangan keagamaan atau ideologi yang sama kerasnya, sehingga lahir tipologi true believer” atau sosok fanatik-buta dalam berpolitik,” ujarnya.
Haedar menyampaikan hal itu saat memberikan sambutan pada pembukaan Tanwir Muhammadiyah di Balai Raya Semarak Bengkulu, Jumat (15/2/19) pagi.
Haedar merasakan saat ini politik bukan lagi urusan mu’amalah dunyawiyah yang dasar hukumnya ibahah (kebolehan)—yang memberi ruang bagi perbedaan dan toleransi. “Tetapi menjadi urusan keyakinan keagamaan secara absolut sesuai tafsir, pandangan, dan kepentingannya sendiri secara ekslusif,” terangnya.
Oleh karena itu, sambungnya, politik di negeri ini menjadi serba frontal, bahkan oleh sebagian dibikin bersuasana gawat, sehingga berpotensi menimbulkan benturan tinggi seolah perang di Kuru Setra dalam kisah Jawa Kuno Baratayudha.
Haedar menjelaskan, karya Empu Sedah tahun 1157 di era kekuasaan Jayabhaya itu menggambarkan prahara perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Erlangga.
“Dalam suasana politik yang terbelah dan membelah itu, media sosial pun makin bebas kian menambah aura politik panas. Di media sosial setiap orang boleh mengeskpresikan apa saja tanpa kendali yang mencukupi. Orang sangat terbuka untuk meluapkan marah, ujaran kebencian, menghujat, menyerang, dan menulis semaunya nyaris tanpa pagar pembatas moral,” kritiknya.
Politik melalui media sosial, lanjutnya, bahkan semakin garang, yang berbeda dengan media cetak dan elektronik yang masih dikontrol oleh redaktur. “Meski kedua media massa tersebut sebagian mulai menjadi corong politik yang sarat kepentingan dan kehilangan objektivitasnya yang jernih,” sindirnya.
Haedar menyampaikan, di tubuh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan pun mulai menggejala kecenderungan sikap intoleransi. Sikap mudah saling menyesatkan dan mengkafirkan mulai menyebar. “Paham keagaamaan yang keras menjadi pendorong sikap ekstrem dan radikal, sehingga kehilangan sikap tengahan atau wasathiyah,” jelasnya.
Akhlak dalam berinteraksi sosial, berorganisasi, bermasyarakat, dan berbangsa pun, menurut Haedar, menjadi tergerus dan retak. Batasan baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas sebagai khazanah budi pekerti kolektif mengalami peluruhan.
“Agama oleh sebagian pemeluk dan tokohnya dijadikan alat legitimasi merebut kue kekuasaaan dengan sikap ananiyah-hizbiyah atau fanatik-golongan yang berlebihan. Di antara tokoh agama dan para warasatul anbiya turun ke gelanggang sebagai partisan dan menjadi kontestan berebut tahta politik dengan semangat menyala atas nama agama,” ungkapnya.
Oleh karena itu Haedar berharap para elite agama, elite organisasi kemasyarakatan, elite politik, dan elite bangsa memberikan keteladanan bagi warga bangsa bagaimana berperikehidupan kebangsaan yang cerdas dan berkeadaban luhur.
“Tampilkan sikap kenegarawanan untuk belajar berjiwa besar dalam berbangsa dan bernegara, lapang hati dalam menghadapi perbedaan, dewasa dalam berkontestasi, saling menghargai dan menghormati, menjadi suluh penerang hati dan pikiran, peredam konflik, pemberi solusi, serta mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dan golongan sendiri,” jelasnya.
Kepada organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah Haedar berherap agara mereka menggelorakan gerakan pencerahan akal budi dan keadaban publik dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Gerakan keteladanan penting dilakukan oleh seluruh warga dan elite organisasi dakwah Islam. Jika anggota, aktivis, kader, dan pimpinan Muhammadiyah dan ormas-ormas keagamaan tidak memberikan uswah hasanah dalam mencerahkan kehidupan kebangsaan berbasis nilai dan moralitas agama maka kepada siapa misi luhur tersebut harus diberikan?” tanyannya. (MN)
Discussion about this post