Karena itu, melenyapkan praktik ziarah tidak semudah membalik telapak tangan. Bagi sebagian Muslim Indonesia, ziarah bahkan menjadi bagian integral dari amaliah rohani yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap barakah dan karamah. Bahkan, dibanding umat Islam di negara lain, Muslim Indonesia memiliki tempat-tempat keramat paling banyak, dengan beragam tradisi yang acapkali tidak diketahui dari mana sumber rujukannya.
Meluasnya pengaruh globalisasi yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, ternyata tidak menyurutkan tradisi ziarah. Jumlah pelaku ziarah di era serba digital ini tidak berkurang, tetapi justru meningkat. Terlebih, setelah muncul usaha-usaha komersial dalam bidang pelayanan transportasi dan akomodasi. Maka bermunculan makam-makam keramat baru yang dijadikan objek ziarah.
(Baca juga: Kakbah dan Doa Aneh Umar bin Khattab)
Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan. Ziarah memang tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Tetapi ketika tradisi ziarah sudah berubah menjadi praktik pemujaan terhadap makam-makam, tentu ini tidak boleh dibiarkan. Jika sampai umat Islam ini terjerumus dalam praktik keagamaan menyimpang yang berbau syirik, dosanya tidak akan diampuni oleh Allah. Kita tentu tidak ingin umat Islam mengalami nasib demikian.
Karenanya, dengan segenap daya, kita harus memurnikan tauhid, tanpa campuran sinkretisme. Pesan Islam jangan sampai ternoda oleh pengaruh-pengaruh heterogen dari luar. Masih banyak sarana bisa kita pakai untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukankah sebagai manusia yang mengaku beriman, kita tidak meragukan sifat rahman dan rahim Allah yang dilimpahkan bagi setiap hamba-Nya yang berkenan meminta melalui doa-doa.
Marilah menumpahkan keluh-kesah hanya kepada Allah, tanpa melalui makam-makam keramat, punden-punden, dan pedanyangan di desa-desa yang itu justru akan menyebabkan akidah kita rusak.
Opini oleh M Husnaini, warga Muhammadiyah Takerharjo, Solokuro, Lamongan