PWMU.CO – Sepintas dalam roadshow saya ke sekolah-sekolah Muhammadiyah di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, akhir April lalu, tak ada yang aneh. Semua berjalan wajar. Pelatihan parenting dan pelatihan guru yang saya lakukan berjalan baik.
Tetapi, ada kesan khusus ketika pelatihan parenting berlangsung di SD Muhammadiyah 1 Sebulu, Kutai Kertanegara. Saya melihat ada dua ibu tampil beda dibanding yang lain. Yaitu, tidak memakai busana muslimah. Sedang yang lain pakaiannya brukut (tertutup rapat). Bahkan ada yang memakai jilbab panjang seperti yang sering dijumpai di tempat lain.
(Baca: Ini Penjelasan Mengapa Sekolah Muhammadiyah Tak Harus Lahirkan Kader Muhammadiyah)
Sempat penasaran, tetapi rasa itu saya pendam. Mungkin mereka belum terbiasa berbusana muslimah, pikir saya. Pelatihan pun dilaksanakan sampai selesai. SD Muhammadiyah 1 yang beralamat di Jalan Mawar, Mekar Jaya, Kecamatan Sebulu, Kutai Kertanegara ini memang baru kali itu mengadakan pelatihan parenting. Sebab, sekolah tersebut baru berdiri. Dan siswanya baru satu kelas: Kelas 1 saja.
Usai pelatihan, saya baru mendapat jawaban atas rasa penasaran tadi. Dua ibu yang tidak memakai busana muslimah itu ternyata pemeluk Katholik. Yang satu orang “luar” (bukan wali murid), yang ingin ikut pelatihan parenting. Dan yang satu adalah wali murid SD Muhammadiyah 1 Sebulu, yang jumlah siswanya 20 orang.
Kepala SD Muhammadiyah 1 Sebulu, Nonok Widiyanto menjelaskan, murid Katholik itu membawa “manfaat” bagi keberlangsungan sekolah yang dipimpinnya. Mengapa? “Sebagai sekolah baru, kami hampir saja gagal mendapat izin operasional dari Dinas Pendidikan,” kata Nonok. Sebab, di sini, kata Nonok, persyaratan izin pendirian dan izin operasional harus mempunyai 20 siswa. “Kalau kurang, ijin tidak keluar,” jelasnya.
(Baca: Cerita Sekolah Muhammadiyah di Daerah Non-Muslim)
Kisahnya, sejak pendaftaran dibuka sampai akan ditutup, jumlah calon siswa yang mendaftar hanya 19 siswa. “Kami bingung. Sekolah bisa gagal berdiri,” jelasnya. Untungnya, datang pendaftar baru yang tak lain adalah siswa beragama Katholik itu. “Langsung saja kami terima. Setelah genap 20 siswa kami urus izinnya ke Diknas dan kami pun bisa mendirikan sekolah ini,” kata Nonok. “Jadi, mirip dengan kisah Laskar Pelangi.”
Nonok, ayah dua anak ini menjelaskan, masuknya siswa beragama Katholik itu membawa “berkah” bagi SD Muhammadiyah. Ijin bisa didapat dan SD Muhammadiyah pun berdiri. “Anaknya krasan dan bisa berbaur dengan teman-temannya yang beragama Islam. Saya sudah menjelaskan segala sesuatunya tentang corak pendidikan di SD Muhammadiyah. Dan orang tuanya setuju,” kata Nonok.
Setiap hari, kata Nonok, anak tersebut ikut belajar agama Islam. Dan uniknya, kalau akan makan, kata orang tuanya, anaknya berdoa lazimnya orang Islam: Allahumma barilanaa fima razaqtanaa waqinaa aza bannar. Dan terhadap kebiasaan lain pun, si anak mengikutinya. (*)
Catatan Suharyo AP, Master Trainer The Power of Love dan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Lumajang