PWMU.CO – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Yunahar Ilyas LC MA mengatakan, tugas berdakwah itu adalah fardhu ain (kewajiban individual).
Pernyataan itu dia sampaikan dalam saat menjadi pemateri dalam kegiatan Penguatan Manajemen Masjid dan Upgrading Mubaligh yang diadakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik, di Hall Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Gesik, Ahad (10/3/19).
Menurut Yunahar, ada empat unsur dalam berdakwah. Pertama, dai atau daiyah—atau yang sering disebut mubaligh. “Tugas ini merupakan tugas semua orang Islam dan hukumnya fardlu ain,” ungkapnya.
Unsur kedua adalah maudhu, yakni yang diajak. “Bisa dari umat yang belum maupun yang sudah beriman,” ujarnya.
Mengaca pada para nabi, jelasnya, sasaran dakwah para pembawa risalah ini ditujukan terutama pada para kaum elite. “Karena mereka potensial untuk berbuat dzalim,” jelasnya.
Oleh karenanya, tambah Guru Besar Fakultas Agam Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, perlu membuat pengkategorian sasaran dakwah hingga bisa menghasilkan dakwah yang maksimal.
Ketiga, thariqah alias metode. “Ajaklah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik,” kata Ketua Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut, mengutip Alquran surat An-Nahl ayat 125.
Yunahar menegaskan, pemilihan tema atau dalil pun mesti diperhatikan. “Dan ini bisa dengan bil aqli atau sesuai dengan tingkat kemampuan audien (pendengar),” paparnya.
Unsur keempat dalam dakwah adalah media. “Silakan menggunakan cara konvensional atau dengan mengikuti perkembangan zaman,” sarannya.
Dia mengingatkan, Muhammadiyah adalah gerakan dakwah sehingga majelis yang ada pada Muhammadiyah tidak bisa menggunakan nama dakwah tapi diberi nama Majelis Tabligh. “Oleh karena Muhammadiyah gerakan dakwah maka segala amal usaha Muhammadiyah harus ditujukan untuk berdakwah,” tegasnya.
Dan sebagai gerakan dakwah, sambung dia, maka arah dakwah Muhammadiyah adalah amar makruf nahi munkar. “Dan bersifat tajdid,” ujarnya. “Tajdid maksudnya pemurnian dari TBC (tahayul, bidah, dan churafat).”
Antara Muhammadiyah dengan Salafiyah
Terkait dengan tugas tersebut, Prof Yunahar bertanya, “Apakah sudah selesai tugas pemberantasan penyakit TBC?” Menurutnya belum selesai karena saat ini muncul model-model TBC yang baru.
“Sekarang, tugas pemberantasan TBC Muhammadiyah tidak sendirian akan tetapi muncul gerakan baru Salafiyah yang juga punya tujuan itu,” kata dia.
Selanjutnya, ujarnya, perbedaan Muhammadiyah dan Salafiyah terletak pada cara berdakwahnya. “Muhammadiyah lebih mengedepankan dengan bil hikmah-nya, begitu sebaliknya,” terang dia.
Hal ini menurutnya bisa dilihat, bagi Muhammadiyah bidah hanya pada wilayah ibadah mahdhah. “Kalau budaya, asal tidak ada larangan dari nash (teks) Alquran dan Hadits maka boleh, apalagi melihat manfaatnya yang lebih besar,” urainya.
Untuk membedakan antara amalan mahdhah dan ghairul mahdhah, Yunahar menyerankan perlunya kajian ushul fiqh, hizbud/fiqh dakwah, dan sirah nabawiyah. “Dalam hal ini, harus bisa membedakan antara, Muhammad sebagai manusia, sebagai orang Arab, dan sebagai Rasul,” ujarnya.
Terkait Kiai Ahmad Dahlan pernah mengamalkan qunut atau tahlil, menurut dia, maka perlu diketahui bahwa Muhammadiyah bukan Dahlaniyah. “Tapi beritibak pada Alquran dan Sunnah. Itu kalau jawaban agak emosionalnya. Kalau agak lembut, maka Kiai Dahlan itu sama halnya Imam Syafii, mana dalil yang shaheh maka ambillah.
Menangapi pertanyayan peserta mengenai prosedur ketarjihan, Yunahar menjelaskan bahwa hal itu bisa dilakukan pada semua tingkatan, yang hasilnya pun berlaku ditingkatan itu. “Bahkan bisa diajukan dari bawah ke atas untuk menjadi putusan bersama,” ujarnya.
Dia menceritakan, ada salah satu pimpinan pusat bertanya, “Apakah pimpinan Muhammadiyah boleh tidak mengikuti putusan Tarjih?” Munurut Prof Yunahar, semestinya pertanyaan itu diganti, “Sebabnya apa, Bapak tidak mengikuti putusan Tarjih. Kalau ada dalil yang tidak kuat maka putusan tarjih wajib diubah,” ungkap dia. (Anshori)