PWMU.CO – Demokrasi sebagai instrumen yang dianggap telah final—setidak-tidaknya begitu menurut Fukuyama—ternyata tak sanggup menghentikan penjarahan, kekerasan, dan teror yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis.
Bukan kekerasan atau teror yang dilakukan oleh fundamentalis agama saja, tetapi juga yang dilakukan oleh kaum “fundamentalis berkelimpahan” (affluent fundamentalism).
Justru atas nama demokrasi, “fundamentalis berkelimpahan” ini memilih jalan kekerasan dengan dalih melindungi demokrasi, menegakkan kesetaraan, melindungi minoritas, merawat kebhinekaan, inklusifisme, dan toleransi. Padahal sebenarnya mereka hanya ingin melindungi kepentingan ekonomi politiknya saja.
Mereka tak segan menyatakan perang total terhadap siapa saja yang dianggap menghalang-halangi kepentingan politik, bisnis, ekspansi modal, produksi, dan pasar ekonominya.
Pengakuan John Perkins, dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man dapat dijadikan acuan mengenai cara-cara kelompok affluent memenuhi kepentingan ekonomi politik mereka. Kaum berkecukupan itu melakukan berbagai cara. Mereka tak segan melakukan kecurangan dalam bisnis, juga dalam membuat laporan keuangan. Bahkan melakukan pemilu curang, pemerasan, termasuk ancaman, teror, kekerasan, dan bahkan kudeta.
Oleh karena itu jangan dikira perilaku fundamentalisme hanya datang dari kelompok agama, yang umumnya mereka lakukan kekerasan karena terpinggirkan dari segi ekonomi. Karena desakan ekonomi itu mereka terpinggirkan lalu cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan bahkan terorisme.
Namun, sebenarnya yang justru lebih berbahaya adalah kekerasan yang dilakukan oleh kelompok affluent—kelompok yang dilihat dari ekonomi sangat cukup bahkan sangat kuat. Justru dalam posisi ekonomi yang kuat itu mereka berupaya untuk melestarikan kondisi kelimpahan ekonomi mereka.
Dalam rangka menjaga kelangsungan ekonomi affluent mereka, kelompok ini terus berekspansi. Sedapat mungkin seluruh ruang kehidupan di permukaan bumi ini, tak terkecuali istana, parlemen, peradilan, dan aparatus represif negara harus berada dalam kontrol mereka. Tentu dengan mengerahkan seluruh kekuatan, meminjam bahasa Kenichi Ohmae, melibatkan empat “I”—investasi, industri, individu, dan informasi.
Sebenarnya kalau saja Ohmae jujur, tidak hanya empat “I”, tetapi kelompok “affluent fundamentalis” atau “fundamentalis berkelimpahan,” tersebut berusaha melengkapi alat ekspansi mereka dengan alat-alat represif, terutama kekuasaan, lembaga peradilan, dan militer.
Bukan hal yang mustahil jika dalam menjalankan praktik kekerasannya itu mereka bisa menempuh pendekatan konspiratif. Mereka memanfaatkan kelompok terdeprivasi. Orang yang terpinggirkan direkrut dan dibayar untuk melakukan praktik radikal dengan berbagai tindakan kekerasan, termasuk perilaku premanisme.
Oleh karena itu pembakaran bendera, penghadangan, atau penolakan bergaya preman terhadap kehadiran orang tertentu di ruang publik seperti yang dihadapi Ust. Abd. Somad, atau belakangan Rocky Gerung di Universitas Muhammadiyah Jember, perlu didalami. Jangan-jangan kesemua itu sebagai wujud dari praktik premanisme kelompok affluent fundamentalis seperti yang dikisahkan oleh John Perkins di atas.
Jika itu benar, maka pantas diwaspadai juga, jangan-jangan kaum fundamentalis berkecukupan itu juga berupaya bermain dengan melakukan kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu 2019 ini. (*)
Kolom oleh Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya 2003-2012, Caleg DPR RI PAN No. 2 Dapil Gresik-Lamongan.