PWMU.CO-Berceramah di tanah kelahirannya, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Prof Dr Syamsul Arifin mengupas budaya orang Sampang yang unik.
”Bagi orang Sampang, berhaji itu luar biasa istimewa. Lebih luar biasa dari pengukuhan guru besar,” kata Syamsul Arifin dalam tabligh akbar Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sampang di Masjid Ad-Dakwah, Senin (1/4/2019).
”Ketika pengukuhan guru besar, saya hanya didampingi bapak ibu dan keluarga. Tapi saat saya berangkat haji orang satu kampung ikut mengantar sampai berbus-bus dan ber-colt-colt,” cerita ketua Lembaga Kerja Sama PWM Jatim ini.
Namun dia prihatin. Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih menempatkan Sampang di peringkat nomor satu dari bawah dibanding 37 kabupaten/kota lainnya se-Jawa Timur.
Syamsul yang lahir di daerah Gladak Bukor (Dek Bukor) bercerita mungkin itu ada hubungannya dengan jalan dan jembatan yang selalu banjir hingga hari ini. Mungkin juga berhubungan dengan pendidikan anak-anak SD yang cukup panjang. ”Saya sekolah madrasah ibtidaiyah (MI) itu selama tujuh tahun. Pernah tidak naik satu tahun,” ceritanya disambut tawa jamaah.
Tahun 1976 ia migrasi ke Malang untuk melanjutkan kuliah. Ternyata migrasi ini bukan sekadar berpindah tempat. Dia berpindah fisik dan ideologi.
Baru sadar setelah pulang ke desa ditanya oleh neneknya. ”Kamu kalau mati nanti gimana? Saya jawab, ya dikubur, Nyi,” jawabnya. Padahal neneknya bertanya perubahan madzhab pada cucunya. ”Sudah disekolahkan mahal-mahal kok malah jadi Muhammadiyah,” tuturnya dengan logat medok Madura.
Pernik pengalaman hidupnya itu menjadikan dia tetap bangga dengan desanya. ”Kebanggaan saya tidak pernah tergerus kepada Sampang. Karena Indonesia itu bagian dari Sampang,” selorohnya disambut tepuk tangan membahana. (Ernam)