PWMU.CO – Syariat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada hambaNya adalah merupakan syariat atau tata aturan kehidupan yang paling sempurna. Dia mengatur segala aspek kehidupan, baik aspek kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, juga meliputi segala bidang, antara lain: sosial, budaya, hukum, ekonomi, politik, pertahanan keamanan, pemerintahan, ketatanegaraan dan sebagainya.
Salah satu aspek syariat adalah menegakkan kekuasaan, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hukum menegakkan kekuasan atau kepemimpinan untuk kemaslahatan umat adalah fardhu kifayah. Artinya di antara sekian orang Islam harus ada yang menjadi ulil amri, yang dipercaya mengurus urusan mereka. Bila telah diangkat atau dipilih ulil amri dari cabang-cabang kekuasaan negara tersebut di atas setiap Muslim wajib mentaatinya, sepanjang tidak menyuruh berbuat maksiat.
Sejalan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu …” (An Nisa, Ayat 59)
Yang dimaksud ulil amri oleh para ulama’ adalah الأمراء (umara’), sultan, raja, presiden, dan sebagainya.
Begitu pentingnya ketaatan kepada ulil amri, sehingga sesaat setelah Rasulullah SAW mengangkat panglima perang Abdullah bin Hudzafah, beliau bersabda:
أَنَّ رَسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى الله ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِى فَقَدْ أَطَاعَنِى ، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِى فَقَدْ عَصَانِى
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa yang taat kepadaku maka ia taat kepada Allah dan barang siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah maksiat kepada Allah dan barang siapa taat pada pemimpin (yang aku angkat) maka taat kepadaku dan barang siapa yang maksiat kepada pemimpin (yang aku angkat) maka telah maksiat kepadaku.” (Shahih Bukhari, 23/353)
Kepemimpinan adalah suatu keniscayaan dalam komunitas Muslim sekalipun dalam komunnitas yang terbatas, apalagi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangs,a dan bernegara.
وقال صلى الله عليه وسلم : « وَلا يَحِلُّ لِثَلاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاةٍ إِلا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh bagi tiga orang yang melakukan perjalanan jauh kecuali mereka mengangkat salah seoarang di antara mereka sebagai pemimpin.” (Musnad Ahmad, 14/335)
Juga hadits dari Abi Said Al Khudri.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا خَرَجَ ثَلاثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda: ‘Apabila tiga orang bepergian hendaklah diangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (Sunan Abi Dawud, 8/54)
Oleh karena itu, dalam memilih atau mengangkat pemimpin Islam telah memberikan panduan yang senantiasa harus kita pedomani, yaitu:
Pertama, pemimpin yang kita pilih atau angkat harus seiman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا للهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (Surat An Nisa, Ayat 144).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاتَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ الله لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin-(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al Maidah, Ayat 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاتَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا الله إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (Surat Almaidah, Ayat 57).
Orang Islam di zaman Nabi SAW yang cendrung memilih orang kafir, Yahudi, dan Nasrani sebagai pemimpin adalah kaum munafik. Yang di hadapan Nabi SAW dan para Sahabat mengaku Islam, tapi di belakang merongrong Islam dan tidak suka Islam jaya.
Kalau kita hubungkan dengan keadaan sekarang, era demokratisasi, khususnya di Indonesia apakah masih tetap relevan? Apakah tidak dikatagorikan pendapat yang ekslusif dan diskriminatif? Tentu saja tidak bisa diklaim antidemokrasi, ekslusif, dan diskriminatif karena terkait dengan hak seseorang untuk memilih.
Seseorang akan menjatuhkan pilihan tentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dilatarbelakangi oleh pendidikan, budaya, lingkungan, dan sebagainya. Apakah termasuk politik identitas? Ya, politik tanpa identitas membingungkan. Politik banci, tidak jelas.
Kedua, apabila calon yang akan kita pilih atau angkat itu telah memenuhi kreteria seiman maka yang harus kita lihat berikutnya adalah kualitas keimananya. 1) Dengan melihat track record (rekam jejaknya) dari berbagai aspek di mana dia selama ini berkiprah. Bagaimana kejujurannya, kesabarannya, atau pendek kata apa prestasinya selama ini. Sejalan firman Allah:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Surat At-Taubah, Ayat 105)
2) Kita cermati pula program kerjanya atau visi misinya. Kita bongkar isi otaknya, bukan isi dompetnya. Jika dia terpilih yang diuntungkan siapa? Apa dakwah kita dapat dukungan dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
ياا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونََ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Surat Al-Hasyr, Ayat 18)
Ketiga, di samping melihat kualitas pribadi sang calon pemimpin, yang tidak kalah pentingnya adalah melihat orang-orang di sekitarnya atau tim suksesnya (partainya) karena mereka inilah yang akan menentukan kiprah sang pemimpin di masa kepemimpinanya. Hal ini bisa kita pahami dari ungkapan Nabi SAW:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالأمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِىَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ الله بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِىَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah menghendaki pemimpin yang baik maka Allah menjadikan baginya pembantu/staf yang benar, jika dia lupa, staf itu akan mengingatkanya dan nasihat itu akan bermanfaat baginya. Dan jika Allah menghendaki pemimpin yang tidak baik, Allah menjadikan staf yang jelek, jika dia salah tidak mengingatkan dan bila mengingatkan tidak berguna” (Sunan Abi Dawud, 9/42)
Teman atau orang dekat sangat menentukan kiprah seseorang secara umum, karenanya Rasulullah SAW memberikan pernyataan:
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – : أن النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ : الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ ، فَليَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang tergantung agama temannya, maka hendaklah salah seoarang dari kalian memperhatikan siapa temannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Alhasil, marilah kita jadikan panduan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dalam memilih pemimpin, apakah itu presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, DPRD, anggota DPT, guberbur, bupati/walikota, ataupun kepala desa. sehingga Allah SWT akan menganugrahkan kepada kita pemimpin yang cerdas, jujur, berani adil, dan amanah menuju Indonesia adil makmur. Amin! (*)
Ditulis oleh H. A. Zahri SH MHI, mantan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Situbondo.