PWMU.CO – Hari ini, Rabu (17/4/2019), bangsa Indonesia melaksanakan gawe besar dan monumental, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif dan Presiden secara serentak. Momentum ini sangat penting untuk menentukan pemimpin eksekutif dan legislatif sekaligus. Oleh karenanya, harus berlangsung jujur dan adil.
Keberhasilan hajatan nasional yang sangat penting bagi masa depan bangsa ini, sangat ditentukan oleh integritas penyelenggaranya. Sikap jujur tanpa kompromi, dan indepensi penyelenggara sangat diperlukan, karena di tangan merekalah nasib para kontestan ditentukan.
Ujian integritas terutama akan dihadapi para komisioner KPU saat pemilihan, dan jelang penetapan calon terpilih. Setidaknya itulah yang saya rasakan selama menjadi anggota KPU Jatim periode 2008-2014.
Beberapa kali saya menghadapi godaan iman yang tidak ringan, baik ketika pemilu maupun pemilukada. Berikut ini sekadar contoh dari beberapa kasus.
Pertama, pada pemilu 2009. Menjelang penetapan calon terpilih anggota legislatif, serombongan orang dari partai tertentu mendatangi saya di Kantor KPU Provinsi Jatim. Mereka meminta saya, dengan janji memberi imbalan uang, agar calon yang mereka dukung, ditetapkan sebagai pemenangnya. Mereka bilang, semua komisioner sudah setuju, tinggal saya. Padahal perolehan suara yang bersangkutan bukan yang terbanyak di partai tersebut.
Menyadari bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah suara terbanyak, maka dengan tegas saya katakan, saya tidak punya ilmu untuk melakukan hal itu. Mereka kemudian pamit dan tidak pernah datang lagi.
Setelah itu saya juga ditelepon seseorang dari partai lain lagi, agar saya memenangkan calon yang ia sokong, dengan iming-iming sejumlah uang sebagai imbalan. Jawaban saya sama dengan kasus sebelumnya: tidak punya ilmu untuk melakukan hal itu. Dia marah, karena merasa sebagai sahabat, tidak dibantu.
Sehari jelang pelantikan Anggota DPRD Jatim tahun 2009, salah seorang anggota DPRD terpilih dipecat partainya dengan tuduhan mencuri suara kawan separtainya. Tapi karena tidak ada bukti yang menguatkan, dan yang bersangkutan menggugat ke Pengadilan, KPU Jatim tetap meloloskan dia untuk dilantik.
Beberapa hari kemudian, seseorang yang mengaku pengurus partai tersebut datang ke rumah, meminta agar yang bersangkutan digugurkan dan diganti calon lain. Tentu dengan janji memberi imbalan sejumlah uang.
Saya sampaikan, dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu itu ada mekanisme yang harus dipatuhi secara berjenjang. Juga ada Panwaslu yang melakukan pengawasan, dan saksi dari partai-partai yang bisa dikonfirmasi. Sehingga tidak setiap orang bisa asal tuduh. Sedangkan dalam kasus ini hanya pengakuan sepihak dari penggugat. Akhirnya dia tidak pernah bertemu lagi untuk membicarakan hal tersebut.
Kedua, terkait Pemilukada tahun 2013. Beberapa hari menjelang penetapan bakal pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di salah satu kabupaten di Jawa Timur, ada seorang kawan yang mengaku diperintah oleh salah satu bakal pasangan calon untuk menemui saya.
Dia meminta agar bakal pasangan calon yang ia dukung diloloskan. Saya katakan, KPU Jatim dalam penetapan pasangan calon Pemilukada bersikap normatif, sesuai peraturan perundang-undangan. Jika memang calon yang diajukan memenuhi syarat, pasti diloloskan. Terkait calon dia, saya bilang: lengkapi surat ini dan itu, hingga persyaratan administratif terpenuhi.
Nah, ketika persyaratan sudah dipenuhi, dua hari kemudian dia datang ke rumah, menceritakan apa yang sudah dilakukan, dan mengatakan bahwa tim pemenangannya mengucapkan terima kasih kepada saya sembari menitipkan sejumlah uang sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Kepada dia saya bilang, lebih baik uang tersebut diinfakkan ke masjid yang memerlukan. Tapi dia masih ngotot mau menyerahkan dengan alasan tasyakuran karena calonnya diterima. Karena saya tetap menolak pemberian tersebut, maka dengan sedikit salah tingkah, ia pun segera pamit pulang, dan tidak pernah lagi datang hingga sekarang.
Ketiga, terkait Pilgub Jatim 2013. Ini menyangkut independensi. Selain integritas, penyelenggara pemilu memang harus pula memiliki independensi, agar tidak mudah diintervensi.
Gara-gara saya tidak mau mengakomodasi kepentingan partai tertentu dan bakal paslon yang menurut saya memang tidak memenuhi syarat normatif, maka sikap saya tegas, menolak. Meski akibatnya, saya terus-menerus mendapatkan teror, bahkan diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Di DKPP saya mendapat pengalaman berharga tentang konflik politik, bahwa ternyata alasan normatif, bisa dikalahkan oleh alasan berkedok keadilan substansial, dengan resiko mengorbankan sebagian komisoner KPU Jatim.
Pada Pemilu 2019 ini, saya sepenuhnya percaya bahwa komisoner KPU, baik tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota tetap independen dan berintegritas. Tapi bagaimana dengan mereka yang di PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)?
Pada level terakhir itu, tidak sedikit masyarakat yang mulai sangsi, mengingat banyaknya informasi dari daerah-daerah tertentu, yang lazim menjual suara pada setiap pemilu dan pemilukada, dengan mengubah perolehan suara di TPS ataupun PPK. Saya sendiri tetap berharap semoga kesangsian tersebut tidak terbukti.[]
Kolom oleh Nadjib Hamid, mantan Anggota KPU Jatim 2008-2014, Calon Anggota DPD RI Dapil Jatim No 41.