PWMU.CO – Kamis, 11 April 2019 lalu, Wali Kota Malang Sutiaji mengundang para tokoh agama ke balai kota. Sebagai umara, Sutiaji ingin menjaga kedekatan dengan para ulama yang disebut sebagai pewaris nabi itu. Kepada para undangan Sutiaji curhat tentang masalah yang dihadapi dalam memimpin kota ini.
Curhatannya soal banjir dan jalan berlubang yang banyak terdapat di kota dingin ini. Ya, Kota Malang menjadi langganan banjir saat hujan deras. Kawasan jalan protokol yang biasanya bebas banjir, kini tidak lagi. Jalan Soekarno-Hatta pun sama, selalu dilanda banjir saat hujan deras.
Ada yang menyalahkan karena curah hujan terlalu tinggi. Tapi sebenarnya bukan itu, seharusnya manusia mau introspeksi, menyalahkan diri sendiri.
Seperti yang difirmankan Allah, segala musibah yang terjadi karena kesalahan manusia sendiri. Bukan hanya saat ini, Allah sudah mengingatkan manusia tentang terjadinya kerusakan di muka bumi pada masa lalu. Telah terjadi kerusakan di daratan dan lautan akibat tangan-tangan manusia.
Ya, manusia telah mengeksploitasi alam sedemikian rupa sehingga kini dampaknya harus ditanggung oleh manusia sendiri. Bahkan orang yang tidak melakukan kerusakan pun harus menanggung akibatnya. Karena, Allah sudah mengingatkan agar manusia takut terhadap musibah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim, tapi orang beriman dan bertaqwa pun akan terkena.
Saat air bah melanda, apakah bisa memilih ke mana akan masuk. Ke rumah orang mukmin atau ke orang dzalim? Tentu tidak, semuanya akan terkena. Itulah sebabnya, berdakwah menyampaikan kebenaran dan mencegah kemunkaran menjadi kewajiban bersama. Bukan hanya kewajiban para kiai, ustad, habaib, atau tokoh agama yang lain.
Mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh Sutiaji, para tokoh agama mau berdakwah dengan tema yang agak beda. Dakwah tentang surga dan neraka sudah amat sering. Dakwah tentang ibadah mahdah juga tidak kurang-kurang. Tapi adakah di antara para tokoh agama itu berbicara di atas mimbar sambil mengatakan, jagalah kebersihan, jangan rusak lingkungan. Mungkin ada, tapi prosentasenya sangat sedikit.
Wali kota minta bantuan kepada para tokoh agama itu untuk menyampaikan pesan lingkungan. Jaga lingkungan, jangan buang sampah sembarangan. Jangan jadikan got, selokan, dan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Sutiaji pernah nongkrong di pintu air sambil mengamati jenis sampah yang tersaring di pintu itu. Ternyata sampah popok bayi (dan juga dewasa) cukup banyak. Masih ada mitos di masyarakat bahwa popok harus dibuang ke sungai. Ternyata bukan hanya popok yang dibuang ke sungai, tapi benda-benda lain, termasuk alat rumah tangga yang sudah tidak terpakai.
Kalau mau mengamati sampah di sungai, benda besar semacam spring bed bisa ditemui. Belum lagi perabot lain. Jangan tanya soal sampah plastik. Jumlahnya sangat banyak. Plastik adalah benda yang sangat sulit terurai meskipun berada di dalam tanah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menghancurkannya.
Benda-benda itulah yang menutup got di kampung, saluran di jalan raya sampai ke sungai. Saluran air itu tidak mampu menampung air saat hujan. Akibatnya, banjir melanda pemukiman dan jalan raya.
Bisa jadi ada paduan antara kualitas pengerjaan yang di bawah standar dengan gerusan air yang terus menerus yang membuat banyak jalan berlubang. Di media sosial muncul satir, Kota Malang Kota Jeglongan. Atau, Kota Malang Darurat Jeglongan.
Ironis memang, kota yang secara geografis berada di ketinggian ini sampai bisa banjir. Jalan-jalan yang tadinya mulus, tiba-tiba bopeng mengganggu lalu lintas. Sudah banyak yang jadi korban jeglongan di tengah jalan tersebut. Kritikan sampai sumpah serapah dilontarkan kepada wali kota yang dianggap tidak mampu mengatasi masalah tersebut.
Tidak elok rasanya kalau semua kesalahan itu ditimpakan kepada wali kota. Meskipun secara awam bisa saja mengatakan, apa susahnya membongkar saluran yang tersumbat. Apa susahnya menambal jalan berlubang. Ternyata masalahnya tidak sesederhana itu. Itulah sebabnya, Sutiaji ingin mengajak masyarakat peduli pada penyebab masalah itu, bukan sekadar apa yang terjadi sekarang.
Kalau yang menyampaikan itu adalah ulama dan tokoh agama, dalam pandangan Sutiaji akan lebih efektif. Bukankah para tokoh agama itu lebih didengar fatwanya, ketimbang umara. Ini sekaligus sebagai bentuk penghormatan umara kepada ulama untuk ikut bersama-sama memperbaiki keadaan.
Bagi para ulama, tak ada salahnya menyampaikan pesan yang sedikit berbeda. Khutbah tidak hanya soal dosa dan pahala beribadah, tapi juga soal bagaimana hubungan dengan sesama manusia.
Orang yang membuang sampah ke got, saluran air dan sungai sesungguhnya termasuk orang tidak memiliki kepedulian kepada sesama manusia. Tidak hablum minallah dan hablum minannas. Mengabaikan hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Tak ada salahnya para khatib mengganti topik khutbahnya dengan masalah-masalah aktual, mengajak masyarakat menjaga kebersihan lingkungan. Tidak membuang sampah sembarang. Bisa jadi topik ini akan menarik minat para jamaah. Merangsang mereka untuk tetap melek sepanjang khutbah disampaikan.
Selama ini banyak khatib khutbahnya mengandung ‘’obat tidur’’ membuat jamaah tertidur mendengarnya. Bisa jadi karena penyampaiannya yang kurang menarik, bisa juga karena topiknya itu-itu saja.
Soal kaitan ayat dan hadits, banyak yang bisa dicuplik sebagai bahan referensi khutban. Ayat-ayat Alquran selalu relevan dengan kondisi masyarakat sampai akhir zaman. Tinggal bagaimana para pendakwah menyampaikannya dengan cara yang menarik. Para ulama dan tokoh agama punya banyak kesempatan untuk amar makruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar melakukan amar makruf nahi munkar. Kalau tidak, Allah akan menyegerakan turunnya azab dan kemudian doa-doanya tidak terkabul. Mungkin selama ini kita abai terhadap dakwah lingkungan ini. Sehingga benar, Allah menurunkan azab dalam bentuk bencana tersebut. Tentu kita berharap bencana itu segera berakhir. Tapi jangan lupa, saling mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Salah satunya, jangan jadikan saluran air sebagai tempat pembuangan sampah. (*)
Kolom oleh Husnun N Djuraid, takmir Masjid Cut Nyak Din Malang.