PWMU.CO – Setelah bereformasi 20 tahun, kehidupan berbangsa dan bernegara kita makin deformatif, menjauh dari semangat para pendiri bangsa yang dinyatakan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 45 versi Dekrit Presiden 1959.
Puncaknya adalah Pemilu 2019 yang rancangan dasarnya ditentukan oleh UUD 2002 hasil amandemen dan proses-proses politik dalam DPR RI bersama Pemerintah Jokowi-JK. Rancangan Pemilu 2019 ini terbukti ruwet, rumit dan mahal untuk negara kepulauan seluas Eropa ini.
UUD 2002 menghancurkan MPR sekaligus membuka jalan bagi monopoli partai politik dalam pasar politik nasional. Keterpilihan meminggirkan keterwakilan. Presiden hanya petugas partai politik, bukan mandataris MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
Seperti setiap monopoli lainnya, monopoli politik ini hanya akan menguntungkan oligarki partai politik yang duduk di DPR RI, apalagi parpol koalisi pendukung Presiden. Biaya politik menjadi makin mahal yang harus dipikul rakyat pembayar pajak namun polity-nya makin tidak ada bagi kesejahteraan umum, apalagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Organisasi massa besar seperti NU dan Muhammadiyah kehilangan peran politik yang bermakna, bahkan politik Islam justru dimainkan oleh ormas kemarin sore seperti HTI yang akhirnya dibubarkan Pemerintah. NU dan Muhammadiyah boleh dikatakan bermain politik di emperan pasar politik yang makin transaksional dan brutal seperti yang wujud dalam Pemilu 2019 ini: lebih dari 250 orang KPPS mati, 2000 orang lebih jatuh sakit terutama karena kelelahan.
Karena makin mahal, peran pendana politik makin besar dalam semua proses-proses politik yang makin transaksional. Pengambilan keputusan hampir selalu dilakukan melalui proses menang-kalah, tidak lagi melalui musyawarah yang dibimbing oleh hikmah.
Sebagai legislator, standar etika anggota DPR dan DPD seharusnya paling tinggi melebihi standar etika dokter, insinyur atau profesi lainnya. Tapi kita justru mendapati standar etika para politisi justru lebih rendah.
Siapapun presiden yang terpilih dalam Pemilu 2019 namun tidak sungguh-sungguh mengagendakan kembali ke UUD 45, adalah presiden politisi, bukan presiden negarawan dengan standar etika tertinggi.
Monopoli partai politik dalam pasar politik ini persis seperti monopoli persekolahan dalam pasar pendidikan. Seperti kita lebih bersekolah tapi makin tidak terdidik, maka saat partai politik memonopoli politik, kebajikan publik itu makin sulit kita temui. (*)
Amsterdam, 29 April 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS