PWMU.CO – Para kader Muhammadiyah harus bisa menulis dan mengerti jurnalistik. Di era sosial media, kemampuan ini sangat dibutuhkan. Supaya bisa menyaring dengan baik informasi yang datang bertubi-tubi setiap hari.
Demikian disampaikan Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah MATAN Ainur Rofiq Sophiaan saat memberi sambutan dalam acara Workshop Jurnalistik di Gedung Muhammadiyah Jawa Timur, Surabaya, Selasa (30/4)/19.
“Jika memiliki kemampuan jurnalistik, kita akan bisa membedakan antara berita benar dan hoax. Kita juga bisa menulis dengan baik meskipun hanya di sosmed (sosial media),” kata Ainur di hadapan 43 peserta yang merupakan siswa dari SMA Muhammadiyah 1 Babat (Muhiba).
Dia menjelaskan, di era informasi saat ini, setiap orang bisa dengan mudah menjadi wartawan dan sekaligus memiliki media massa. Karena, hampir semua orang kini memiliki sosmed. Baik itu facebook, instragram, maupun twitter.
“Kalian kenal istilah citizen jurnalism? Itulah wartawan warga. Semua orang jadi wartawan dengan cara menulis di media sosial. Tapi mereka ini wartawan yang tidak terdidik. Bukan wartawan profesional. Jadi mereka nulisnya asal. Belum dicek sudah ditulis. Ada yang pernah mengabarkan seseorang meninggal. Tapi faktanya, orang itu ternyata masih hidup. Ini kan kesalahan fatal,” urainya.
Maka dari itu, dia berpesan agar para kader Muhammadiyah harus belajar jurnalistik. Sehingga mereka bisa menulis dan menyaring informasi dengan baik. Tidak sembarangan meng-share berita. Serta tidak mudah terprovokasi dengan informasi-informasi yang tidak bermutu.
“Itulah kemampuan literasi. Bukan hanya agar orang tidak buta huruf. Bukan hanya bisa membaca. Bukan pula cuma bisa memahami. Tetapi juga bisa menulis dengan baik, sehingga kita bukan termasuk orang – orang yang menyebarkan sesuatu yang tidak bermanfaat,” tuturnya.
Untuk memberikan motivasi menulis kepada para peserta, Ainur pun mengutip kata-kata Dahlan Iskan. Mantan bos Jawa Pos ini mengatakan, menulis itu layaknya belajar naik sepeda. Teorinya sedikit, praktiknya yang banyak. Adakalanya jatuh, kemudian bangkit. Begitu seterusnya, hingga terbiasa dan akhirnya menjadi mahir.
“Tapi ada juga yang jatuh berkali-kali, kemudian kapok. Jadinya tidak akan bisa. Maka dari itu, saya berharap kalian semua tidak mudah menyerah. Setelah pelatihan ini, kalian harus kembali ke sekolah dengan menjadi mujahid-mujahid pena. Pena itu bukan berarti bolpoin. Saat ini drijimu (jarimu) itu juga pena,” pesan Ainur kepada para peserta. (Ilmi)