PWMU.CO – Seseorang bertanya tentang hukum menerima pekerjaan mendesain ruangan ibadah non-Muslim. Bagaimana hukum yang sebenarnya?
Ada dua masalah yang harus dijelaskan dalam pertanyaan di atas, yaitu masalah melangsungkan hubungan muamalah duniawiah dengan orang non-Muslim dan bekerja di tempat ibadah non-Muslim.
Pertama, berdasarkan Alquran dan hadits, ajaran agama Islam membolehkan kaum Muslimin bermuamalah dengan orang non-muslim. Tradisi semacam ini amat populer dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat. Mereka bermuamalah dengan orang-orang non-Muslim, baik Yahudi, Nasrani atau musyrikin yang ada di sekitar Madinah.
Dalam sura Almumtahanah ayat 8, Allah SWT berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.
Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari:
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ فِي السَّلَمِ فَقَالَ حَدَّثَنِي الْأَسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Telah menceritakan kepada kami Mu’allaa bin Asad telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al A’masy berkata; “Kami pernah saling menceritakan di hadapan Ibrahim tentang gadai dalam jual beli, maka dia berkata, telah menceritakan kepadaku Al Aswad dari ‘Aisyah ra, bahwa Nabi SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi yang pembayaranya di belakang. Kemudian beliau menggadaikan baju besi sebagai jaminannya. (HR Bukhari, nomor 2211).
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً أَوْ قَالَ أَمْ هِبَةً قَالَ لَا بَلْ بَيْعٌ فَاشْتَرَى مِنْهُ شَاةً
Telah menceritakan kepada kami Abu an-Nu’man telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaiman dari Bapaknya dari Abu ‘Utsman dari ‘Abdurrahman bin Abu Bakar ra, ia berkata: “Kami pernah bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang lelaki musyrik dengan rambut panjang yang kusut dengan menggiring domba. Kemudian Nabi SAW bertanya: Apakah domba ini untuk dijual atau diberikan? (dalam riwayat lain “Atau untuk dihibahkan”). Orang itu menjawab: “Bukan untuk diberikan tetapi untuk dijual”. Lantas beliau SAW membeli seekor kambing darinya. (HR Bukhari Nomor 2064).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa orang Muslim bermuamalah dengan orang non-Muslim adalah boleh dan hal tersebut telah mentradisi sejak zaman Nabi SAW, para Sahabatnya dan generasi-generasi kaum Muslimin berikutnya. Namun demikian para ulama memberikan batasan-batasan tertentu agar muamalah tersebut tidak merugikan umat Islam baik urusan dunia maupun agama mereka.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang hukum orang Muslim yang mendatangi beberapa perayaan Nasrani yang populer di wilayah Syiria. Tujuannya adalah menggelar dagangan yang berupa kambing, sapi, tepung gadum, dan barang-barang lainnya. Dia tidak ikut serta merayakannya apalagi masuk ke dalam tempat ibadah mereka. Ahmad bin Hanbal menjawab:
إذا لم يدخلوا عليهم بيعهم، وإنما يشهدون السوق فلا بأس
Apabila mereka tidak masuk ke kuil-kuil mereka, namun hanya datang ke pasarnya, maka yang demikian itu tidak masalah. (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 1/517).
Dibolehkannya umat Muslim mendatangi pasar pasar orang non-Muslim karena tujuannya adalah untuk jaul beli, bukan untuk mendukung kemunkaran, atau membantu menyemarakkan hari raya mereka. Yang demikian ini dikarenakan hukum asal jual beli adalah boleh, dan tetap boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Dari keterangan di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa dicatat. Pertama, orang Islam dibolehkan bermuamalah duniawiah dengan orang-orang non-muslim. Kedua, memberi keuntungan duniawi kepada orang non-Muslim tidak identik dengan mendukung kekufuran mereka. Sekalipun tidak menutup kemungkinan keuntungan yang mereka dapatkan digunakan untuk kegiatan kekufuran. Namun demikian para ulama membuat batasan-batasan sebagai berikut:
1). Tidak membantu mereka untuk mengalahkan kaum Muslimin secara langsung. Seperti menjual dokumen rahasia.
2). Tidak membantu mereka untuk melakukan kemunkaran. Misalnya menjual bahan baku khamr.
3). Tidak memberi kesempatan mereka untuk merendahkan syariat Islam. Seperti mempercayakan percetakan mushaf Alquran kepada perusahan atau percetakan dihinakan.
Kedua, bekerja di tempat ibadah non-muslim. Yang dimaksud dengan bekerja pada tempat ibadah non-Muslim adalah terlibat pada perencanaan desain, pembangunan fisiknya, pengerjaan interior, dan pekerjaan lain yang terkait langsung dengan berdirinya bangunan tersebut. Masalah ini adalah khilafiyah yang cukup popular di kalangan fukaha.
Tokoh kalam Mazhab Asy’ariyah, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa bekerja pada tempat ibadah non-Muslim adalah bagian dari kerelaan terhadap kemungkaran yang menyebabkan kekufuran.
Mayoritas imam Mazhab, yaitu Malikiyah, Syafiiyyah, dan Hanbaliyah berpendapat sebagai sesuatu yang haram karena perbuatan tersebut identik dengan kemaksiatan.
Mazhab Hanafiah berpendapat lain. Menurutnya hal tersebut adalah mubah, karena yang dinilai adalah substansi pekerjaannya bukan hubungannya dengan agama orang non-Muslim.
Jumhur ulama berdalil dengan surat Asy-Syura ayat 21 dan Almaidah ayat 2, serta kaidah fikih.
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih. (Asy-Syura ayat 21)
Menurut Imam As-Subuki ayat ini menjelaskan bahwa siapa saja yang rela dengan pembangunan tempat ibadah non-Muslim sama dengan menghalalkan yang haram. Barang siapa yang terlibat dalam pembangunannya sama dengan melibatkan diri dalam keharaman, dan Allah SWT tidak pernah mengizinkan yang haram.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Almaidah ayat 2)
Ayat ini memberikan pengertian bahwa melibatkan diri dalam pembangunan tempat ibadah non-Muslim sama dengan membantu orang-orang kafir dalam kemaksiatan mereka, serta menghormati kebatilan syiar mereka. Di samping itu menurut kaidah fikih, bekerja di tempat ibadah orang kafir adalah akad kerja atas manfaat yang diharamkan. Sedangkan manfaat yang haram adalah menuntut untuk dihilangkan. Maka akad kerja atas manfaat yang haram adalah tidak boleh.
Mazhab Hanafiah dan sejumlah fukaha mutakhir seperti Yusuf al-Qaradhawi membolehkan orang Muslim bekerja pada tempat ibadah orang non-Musli, dan duit yang ia peroleh adalah rezeki yang halal. Walaupun pekerjaannya tersebut berdampak pada semarak syiar agama non-Muslim. Karena tidak ada kemaksiatan dalam jenis pekerjaannya. Hal ini sama dengan petani anggur yang menjual buah anggur di pabrik khamer, petani tersebut tidak ada masalah dengan perbuatannya, karena buah anggur bisa diolah menjadi apa saja.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat sama dengan Mazhab Hanafi. Menurutnya izin mendirikan tempat ibadah non-Muslim adalah hak pemerintah setelah mempertimbangkan mafsadat dan manfaatnya serta fatwa para ulama. Jika pemerintah mengizinkan pembangunan tempat ibadah non-Muslim, maka orang Muslim boleh untuk terlibat kerja dalam pembangunannya (al-amal inda ghairil muslimin min wijhah nazar islamiyyah: 135)
Adapaun pendapat Abu al-Hasan al-Asy’ari yaitu kafirnya orang yang bekerja di tempat ibadah non-Muslim tidak bisa diterima. Karena yang bersangkutan tidak ada hubungannya dengan pengakuan pada keabsahan agama di tempat ibadah tersebut. Demikian pula anggapan bahwa bekerja di tempat tersebut berdampak pada semakin berkembangnya syiar agama non-Muslim juga tidak sepenuhnya benar. Karena ada atau tidaknya orang Muslim yang bekerja di situ, agama yang ada di tempat ibadah tersebut tetap eksis dan tetap memiliki syiar. (*)
Ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Tulisan ini kali pertama dipublikasikan Maalah Matan.
Discussion about this post