PWMU.CO – Dalam studi antropologi, banyak lembaga sosial dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan seksual manusia dibentuklah lembaga perkawinan. Untuk memenuhi kebutuhan akan kekuasaan dibentuklah sistem politik. Untuk memuaskan nalar dibentuklah lembaga pendidikan. Nah Allah SWT mensyariatkan puasa untuk memenuhi kebutuhan spiritual manusia.
Di antara penelitian tentang orang puasa adalah tentang perubahan pikiran dan cara pandang mereka. Terdapat penelitian yang mengamati sekelompok orang yang berpuasa. Setelah beberapa hari berpuasa terjadi sesuatu yang aneh. Pikiran mereka menjadi lebih bijak. Layaknya para filosof mereka mulai memikirkan hal-hal yang abstrak. Semacam kebahagiaan, kedamaian, toleransi, etika, keadilan dan lain sebagainya.
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa orang-orang shaleh gemar berpuasa karena dengan puasa tersebut justru mereka memperoleh pencerahan batin (al-ghayat an-nuraniyyah) dan peneguhan rohani, kebijaksanaan, serta berbagai kebajikan yang berlimpah. Hal ini sering disebut sebagai iluminatf atau limpahan irfaniy.
Hal itu karena puasa menaikkan status mereka kepada derajat malaikat yang penuh taat dan hampa maksiat. Mereka semakin dekat kepada Allah Azza wa Jalla, sumber hakiki segala ilmu dan hikmah.
Puasa juga menjernihkan ruang komunikasi spiritual antara alam nasut dengan alam malakut. Pada saat berpuasa, sinyal-sinyal petunjuk dan bimbingan terasa lebih jelas, mudah, dan banyak dapat ditangkap.
Diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW, jika sudah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka beliau menghidupkan malam-malamnya, membangunkan keluarganya, merapatkan bebatan sarungnya, tekun bersama sama untuk ibadat kepada Allah SWT. (*)
Kolom Ramadhan bersama Dr Syamsuddin MA, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.