PWMU.CO – Bagi yang tinggal di tanah damai, bunyi ledakan bom adalah sesuatu. Ada perasaan kaget, takut, dan mengerikan. Tapi hal itu tak berlaku bagi warga Palestina. Ledakan bom tak lagi asing di telinga mereka.
Seperti pengakuan Syeikh Yahya Muhammad Al Shafei. Pria kelahiran Gaza, 24 Februari 1991 itu telah akrab dengan suara ledakan bom sejak bayi. “Sejak saya lahir sudah ada konflik di Gaza. Tapi saya baru paham benar arti perang ketika usia 8 tahun,” ujarnya seperti diterjemahkan Zaki Abdul Wahid, guru SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) yang mendampinginya, Senin (20/5/19).
Syeikh Yahya lahir dan besar di Khan Younis, Gaza, yang berjarak 15 km dari pusat konflik. “Jadi agak jauh dari tempat konflik. Tapi kalau namanya perang itu ya gak ada jauh atau dekat. Di mana pun harus selalu siap,” ungkapnya.
Pria lulusan Studi Islam di Al Aqsha University itu bercerita, sewaktu kecil ia selalu kaget dan takut setiap kali mendengar suara bom atau ledakan. “Tapi sekarang, kagetnya hanya ledakan pertama. Setelah itu ya sudah biasa karena memang kondisi perang,” ungkapnya.
Anak kedua dari 12 bersaudara itu mengaku keluarganya belum ada yang syahid dalam perang Gaza. “Tapi sudah ada yang terluka,” ucapnya tetap tersenyum.
Di Indonesia Syeikh Yahya adalah salah satu duta Palestina yang digandeng Lazismu Jawa Timur dalam kegiatan bertajuk “Ramadhan 1440 Hijriyah Mencerahkan”.
Dia berkeliling dari satu masjid ke masjid—atau sekolah ke sekolah—lainnya. Tujuannya untuk membangun solidaritas umat Islam Indonesia, khususnya menggalang dana kemanusiaan pembanguan rumah sakit Indonesia di Kota Hebron, Palestina.
Selain menjadi imam dan penceramah, Sheikh Yahya membimbing tahsin Alquran pada anak-anak sekolah, seperti yang dilakukan dalam acara Cinta Alquran di SDMM, Senin itu.
Ada kisah menarik soal bagaimana dia berproses menjadi imam seperti sekarang ini. Ketika itu usianya baru menginjak 11 tahun. Ayahnya meminta dia menggantikan imam yang berhalangan hadir di masjid. “Saat itu ada pertentangan dari beberapa syeikh lain,” cerita dia.
Menanggapi hal tersebut, ayahnya meminta Yahya membacakan beberapa surat di depan para syeikh. Mereka pun terdiam setelah mendengar bagusnya bacaan Yahya. “Setelah itu saya banyak diminta menjadi imam di beberapa masjid. Juga diminta menggantikan imam yang berhalangan,” ungkapnya.
Lelaki muda yang saat ini bekerja di Darul Quran wa Sunnah itu senang selama tinggal di Indonesia karena keramahan masyarakatnya. “Pengorbanan orang Indonesia juga luar biasa untuk membantu Palestina. Semoga dimuliakan Allah,” kesannya.
Yahya akan kembali ke Gaza sekitar akhir Mei, menunggu jadwal pasti dari lembaganya. “Semoga dilancarkan semua urusan,” harapnya. Untuk dapat masuk ke Gaza, kata Yahya, tidak mudah. “Ada tanggal tertentu yang tidak bisa masuk, tapi pasti dimudahkan Allah,” ujarnya penuh keyakinan.
Ia berharap doa dari semuanya untuk warga Palestina, khususnya Gaza yang hingga kini masih terisolasi. “Cukup sulit mendapat bantuan pangan dan obat-obatan. Listrik juga hanya 4-8 jam,” ungkapnya. (Vita)