PWMU.CO – Seringkali kita terbuai dengan sikap salah kaprah dalam memaknai Idul Fitri yang diartikan kembali suci. Seolah kita mengklaim bahwa setiap kita sudah suci dari dosa. Atau kita merasa puas dengan ibadah yang telah kita lakukan dan merasa sudah tidak punya dosa lagi.
Asumsi seperti ini terkadang memberi peluang untuk melakukan dosa-dosa, karena toh nantinya terhapus dengan hadirnya Idul Fitri.
Hal itu disampaikan oleh Ustadz Abdul Razaq SPdI dalam khutbah Idul Fitri di Lapangan Zakunar Kompleks Perumahan Panji Permai, Desa Mimbaan Kecamatan Panji Kabupaten Situbondo, Rabu (5/6/19).
Menurut Razaq, sapaan akrabnya, akan lebih bijak jika kita dalam memaknai Idul Fitri mengikuti Rasulullah. “Adapun hari fitri itu adalah hari berbuka dari puasa kalian,” ujarnya mengutip hadits Nabi.
Idul Fitri juga bermakna kembali pada fithrah. “Fithrah manusia adalah bertauhid, sabar, berbuat baik, dermawan, membenci kemaksiatan, dan kemungkaran,” ungkapnya
Berpisah dengan Ramadhan, bukan berarti berpisah dengan ketaatan. Jika memang yang kita lakukan di bulan Ramadhan adalah ketaatan dan amal shalih, tentu kita akan memetik hasilnya dan melihat buahnya.
“Akan merasakan nikmatnya dan akan menuai pengaruhnya di bulan pasca-Ramadhan, karena buah kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya,” kata pria yang juga Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bondowoso ini.
Dan sebaliknya, lanjut Razaq, jika ternyata yang kita lakukan setelah Ramadhan adalah kemaksiatan dan jauh dari ketaatan, itu sebagai indikator tertolaknya amal kita. “Itu berarti amaliyah kita di bulan Ramadhan belum memenuhi kriteria sebagai amal shalih, karena balasan dari perbuatan yang buruk adalah munculnya perbuatan buruk setelahnya,” tuturnya.
Pria yang tinggal di Bondowoso ini kemudian mengurai dengan jiwa yang fitri dan kembali pada fitrahnya dari hasil didikan madrasah Ramadhan, maka kita mantapkan hablun minallah dan hablum minannaas. “Pertama ibadah puasa yang menjadi ciri khas Ramadhan, hendaknya menjadi jiwa kita sepanjang tahun,” urainya.
Ini artinya bahwa jika puasa menjadi perisai dari dosa di dunia, menjadi tameng dari godaan setan, menjadi benteng neraka di akhirat selama Ramadhan, tentu untuk sebelas bulan berikutnya kita juga membutuhkannya. “Inilah hablum minallah kita yang menumbuhkan muraqabah pada setiap jiwa mukmin. Jika yang halal dan mubah bisa kita hindari pada siang hari, tentu yang haram akan lebih mudah kita hindari,” tegasnya
Kedua, sambung Razaq, jika selama bulan Ramadhan kita ada peningkatan kekhusyukan, rajin menunaikan shalat berjamaah, masjid dan mushala hampir tiap waktu penuh dengan ibadah shalat berjamaah, tidakkah ingin kita melestarikannya di bulan yang lain.
Ketiga, jika selama Ramadhan kita rajin menjalankan shalat Tarawih dan tadarus, maka di bulan lainnya shalat malam dan tadarus tetap menjadi keutamaan. “Dan kemuliaan seorang mukmin di sisi Allah adalah dengan shalat malam. Hendaklah kalian biasakan shalat malam, karena shalat malam adalah kebiasaan orang shalih sebelum kalian, lebih mendekatkan kalian kepada Allah, menghapus kesalahan dan mencegah kalian dari dosa,” ujarnya menyitir hadits Nabi.
Keempat, kedermawanan kita di bulan Ramadhan cenderung meningkat. Berzakat dan bersedekah kita tunaikan. Pahala shadaqah di bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan akan dilipatgandakan.
“Rasulullah SAW memberi jaminan bahwa pada hakikatnya harta tidak akan berkurang karena bersedekah, bahkan bertambah,
bertambah dan bertambah,” ungkap staf pengajar di Mahad Al-Ishlah Bondowoso ini.
Kelima, masih menurut Razaq, di bulan Ramadhan, suasana iman begitu sejuk kita rasakan. Kita hadirkan segala sarana yang memudahkan untuk taat kepada Allah. Kita singkirkan segala pemicu dosa dan maksiat.
“Hingga ketaatan begitu mudah dikerjakan dan kemaksiatan begitu mudah ditinggalkan. Sungguh semangat kehidupan Islami merata di semua lini. Nuansa seperti ini sungguh lebih dituntut dan tetap dibutuhkan di bulan berikutnya, mengingat kemaksiatan begitu bebas dipertontonkan,” pesannya.
Sungguh amat sangat berat tugas kita sebagai orangtua, yang dengan semangat kita mentarbiyah putra-putri kita, segala daya dan dana telah kita curahkan, agar mereka memiliki keshalihan ritual dan keshalihan sosial.
“Memiliki keseimbangan iptek yang dikuasai dengan imtaq yang dimiliki, namun dengan serta merta upaya itu lambat tapi pasti digerogoti oleh tayangan televisi yang amoral,” tegas pria yang juga staf pengajar di SD Muhammadiyah 1 Bondowoso ini.
Sebagai warga NKRI, mari kita mendoakan para pemimpin negeri ini. “Semoga menjadi pemimpin yang amanah yang membawa kehidupan berbangsa dan bernegara yang diliputi kehidupan adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan,” ajaknya. (Sugiran)
Discussion about this post