PWMU.CO – Dalam proses pembentukan ideologi sebuah organisasi atau gerakan sosial keagamaan, peran pimpinan dan elit gerakan tidak bisa dipisahkan. Hal ini ternasuk yang dialami oleh KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.
Kalau menggunakan format Herbert Blumer, pembentukan atau perumusan ideologi ini ada pada tahapan ketiga, setelah agitasi (pengenalan ide dan gagasan pada masyarakat), lalu espirit de corps dan pembentukan moral gerakan.
Kiai Dahlan melakukan semua tahapan itu sebelum ideologi terbentuk.Jangan berpikir bahwa dulu itu setelah Muhammadiyah didirikan sudah lengkap dengan AD/ART seperti yang kita lihat sekarang.
Apa yang dilakukan Kiai Dahlan ya itulah yang dilakukan Muhammadiyah. Tidak ada perdebatan teologis seperti yang ada di WhatsApp sekarang. Karenanya contoh riil itulah yang dilakukan beliau. Perdebatan penting, tapi jangan sampai menimbulkan konflik.
Karena posisi elit gerakan dalam pembentukan ideologi itu sangat penting, maka peran elit kapan pun memiliki pengaruh dalam proses pembentukan ideologi Muhammadiyah. Perubahan-perubahan perumusan ideologi Muhammadiyah yang tersebut dlm AD/ART, Matan Keyakinan, Mukaddimah dan sebagainya adalah contoh bagaimana elit mendorong perubahan itu melalui mekanisme organisasi yang ada.
Jadi ideologi itu bukan rumusan kaku yang tidak bisa berubah. Ideologi adalah rumusan tentatif yang selalu mengalami perubahan.
Oleh karena itu saya tidak setuju jika ada istilah “pembersihan” terhadap pikiran-pikiran yang berbeda, misalnya pemikiran yang dianggap radikal.
Radikal dalam ide dan pemikiran itu adalah sikap nonkompromis terhadap pendapat orang lain dan ada keinginan memaksakan pendapat sendiri untuk diterima orang lain, dengan cara halus maupun kasar.
Kalau kita bersikap seperti itu yaitu membersihkan Muhammadiyah dari pemikiran yang berbeda, maka sama saja kita termasuk radikal dan akan terkena razia pembersihan.
Semua itu memperkaya Muhammadiyah. Dulu ada Kiai Muchtar yang sangat konservatif. Tapi tetap bisa berkomunikasi dengan yang lain tanpa olok-olok dan hujatan.
Kita memberikan keleluasaan pikiran bagi para ulama Muhammadiyah untuk difasilitasi melalui forum resmi agar semua terdokumentasikan.
Kenapa? Karena Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) tetap membuka diri untuk dikritik dan tidak mengikat kalau ada dalil yang lebih kuat. Kita dipersilakan untuk tidak mengikuti keputusan MTT. Selain itu, inisiator MTT adalah orang ‘liberal’, KH Mas Mansur.
Dia dulu selalu mengkritik sebagian Mauslim yang selalu was-was dalam melakukan sesuatu. Ia mencontohkan seperti orang mau makan ayam di tempat umum mesti ragu-ragu: apakah ayam itu disembelih atau tidak; kalau disembelih apakah mengucap basmalah atau tidak. Bagi Mas Mansur, tidak perlu sepert itu. (*)
Kolom oleh Prof Achmad Jainuri, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.