PWMU.CO – Semua alam dan arus pemikiran pasti terdapat dan terjadi dalam suatu komunitas tak terkecuali dalam Muhammadiyah. Apalagi Muhammadiyah, sebagai persyarikatan, merupakan “federasi” pemikiran. Terdapat nuansa perbedaan dari daerah ke daerah, dari orang ke orang.
Hal itu alamiah dan merupakan sunnatullah dalam skala komunitas. Selama semua berpegang kepada nilai-nilai dasar organisasi, maka perbedaan-perbedaan itu biasa, apalagi ada budaya dialog dan musyawarah.
Sering menjadi tidak biasa bahkan berbahaya jika ada klaim akan kebenaran atau monopoli akan kebenaran. Pada tingkat rendah klaim ini mengejawantah dalam kecenderungan labelisasi terhadap yang lain.
Dan memang nuansa keragaman yang sesungguhnya merupakan mozaik yang indah jika ada intervensi infiltrasi kepentingan politik dari luar atau dari dalam yang menarik kepentingan luar ke dalam Muhammadiyah.
Celakanya, banyak politisi Muhammadiyah lebih memperjuangkan kepentingan partainya ke dalam Muhammadiyah dari pada kepentingan Muhammadiyah ke dalam partainya.
Seperti halnya paham keislaman, Muhammadiyah harus bersifat terbuka dan dinamis terhadap dinamika zaman. Tidak mungkin Muhammadiyah berpatok pada Dahlaniyah. Dan tidak elok Muhammadiyah masa depan harus seperti Muhammadiyah masa kini. Sayang percakapan di grup-grup Muhammadiyah berkutat pada romantisme sejarah, konservatisme, dan liberalisme. Kurang mengajukan pikiran-pikiran berorientasi ke masa depan (berkemajuan).
Federasi pemikiran hanyalah sekadar istilah untuk menjelaskan fakta sejarah bahwa pertumbuhan Muhammadiyah pada the formative years tidaklah karena ittiba’ apalagi taqlid buta terhadap pemikiran Ahmad Dahlan (Dahlaniyah).
Tashwirul Afkar Mas Mansur atau Gerakan Pembaruan di Sumatera Barat menerima Muhammadiyah lebih karena ada meeting of mind yang meletakkan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah sebagai tema sentral. Inilah madzhab atau manhaj Alquran was Sunnah. Sayangnya metodologi kembali itu tidak segera diformulasikan. Himpunan Putusan Tarjih (HPT) hanya menyebut dasar Alquran dan Assunah al-Maqbulah. Maka terbuka wilayah bebas mengisi jalan kembali kepada keduanya itu.
Belakangan baru dirumuskan kerangka metodologis dalam istilah-istilah Al-Tawazun bayn al-Tajrid wa al-Tajdid atau metode-metode tarjih dan tajdid: bayani, burhani, dan irfani. Sayang metode-metode itu tidak fungsional di bawah, sejalah dengan kelemahan dakwah Muhammadiyah di tingkat jamaah dengan kelangkaan kader dakwah dari generasi muda.
Generasi muda Muhammadiyah sedikit yang mendalami agama dan mengabdi sebagai pengawal dakwah jamaah. Maka kelonggaran ideologi, kelemahan organisasi, dan kelangkaan kader membuat Muhammadiyah, tepatnya jamaah Muhammadiyah, melirik sumber-sumber ilmu dari luar—atau kader dalam yang tertarik ke luar karena di dalam tidak memikat lagi. Itulah yang terjadi dan merupakan “arus dekonstruksi di bawah permukaan”.
Sekarang bagaimana menghadapinya atau tepatnya menanggulanginya? Pandangan saya: Pertama, jangan terjebak dalam romantisme sejarah masa lalu tanpa terbuka terhadap masa kini, sehingga terjatuh ke dalam konservatisme.
Kedua, jangan terpesona dengan ideologi masa kini, terutama paham-paham yang mengeliminasi dimensi eskatologi Islam: paham yang lebih mengedepankan duniawi dari pada ukhrawi.
Ketiga, jangan berhenti pada kritik tanpa mengajukan solusi dan berbuat nyata untuk solusi itu.
Keempat, jangan cenderung melabelisasi apalagi melakukan generalisasi.
Kelima, jangan cenderung menyalahkan faktor eksternal dengan mengabaikan faktor internal. Muhasabah adalah jalan terbaik. Allahu A’lam bi al-sawab. (*)
Kolom oleh Prof Dr M Din Syamsuddin MA, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015.
Atas izin beliau, tulisan ini diambil dari Group WhatsApp Islam Berkemajun.