PWMU.CO – Mengkaji fase-fase perkembangan pemikiran KH Ahmad Dahlan, terbukti pendiri Muhammadiyah itu sosok yang cerdas, menghormati dan menghargai kekayaan intelektual Islam.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Syamsudin MAg saat memberikan ceramah iftitah pada Silaturrahim Halal bi Halal Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Aula Mas Mansur Gedung Muhammadiyah Jawa Timur, Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (22/6/2019).
Syamsuddin merujuk beberapa buku yang menuliskan pemikiran KH Ahmad Dahlan. Menurut tulisan Prof Syafiq Mughni dalam buku Nilai-nilai Islam, kata Syamsuddin, menyebutkan, sesuatu yang memengaruhi wawasan dan pemikiran Dahlan ada dua hal. ”Yakni faktor pembaharuan di Timur Tengah dan faktor modernisme barat,” ujar Syamsudin.
Tokoh Timur Tengah yang muncul adalah Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaludin Al Afghani dan lainnya. “Dari Wahab menekankan pada pemurnian ajaran Islam sehingga bentuk gerakannya adalah purifikasi atau memurnikan ajaran Islam dari anasir yang mengotorinya,” paparnya.
Jamaluddin Al Afghani, sambung dia, menekankan pada politik umat Islam. “Gerakannya adalah rafinalisme, yakni bagaiman umat Islam melepaskan diri dari penetrasi bangsa barat,” jelasnya.
Syamsuddin menyebut lagi buku Prof Mukti Ali menceritakan peristiwa ketika Ahmad Surkati bertemu Dahlan dalam sebuah perjalanan kereta api. “Ulama dari Sudan ini terkesima dengan Dahlan karena begitu menikmati bacaannya, yakni Tafsir Al Manar, sebuah tafsir ijtima’i dan filasafi,” kisahnya.
”Tafsir dengan sastra tinggi yang memerlukan penguasaan bahasa Arab tinggi. Meski tafsir yang ditulis oleh Rasid Ridho pada awalnya dianggap sebagai tafsir sesat dan ingkar, terbukti Dahlan tidak alergi dengan perkembangan baru, tidak fanatisme dengan bacaan dan tokoh tertentu,” paparnya.
Muhammadiyah, ujar dia, kemudian dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan. Sayangnya banyak pemikiran Dahlan tidak terdokumentasi dengan baik. “Perhatikan bagaimana Dahlan menjelaskan surat Al-Maun dengan penerapan surat itu oleh para muridnya,” tuturnya.
Kader Muhammadiyah dalam perkembangannya banyak terpengaruh atau mencari sumber rujukan yang fleksibel, tidak bermazhab tertentu atau cenderung ke tokoh tertentu.
“Ada yang mengambil pemikiran Al Irsyad, Persis. Bahkan mengambil pemikiran Barat untuk berbicara demokrasi dan nasionalisme,” tuturnya.
Bahkan menurut dia, ada juga tokoh Muhammadiyah yang mengambil dari Ikhwanul Muslimin, Salafi dan HTI. ”Rekan saya di PWM, Nur Cholis Huda, mengatakan sebenarnya HTI dan Salafi itu Muhammadiyah dalam wajah lain, karena di tempat lain mereka disebut Muhammadiyah, karena tidak pakai qunut kalau Subuh,” ungkapnya yang disambut tawa hadirin.
Kalau membaca AD/ART Muhammadiyah, sambung dia, maka belum pernah menyebut mazhab, baik fiqih maupun tasawuf, tetapi berdasarkan Quran dan Sunnah. “Maka mari berwawasan luas, adaptif dan tidak alergi dengan hal-hal baru,” pesannya. (Sugiran)