PWMU.CO – Tembang Durma mengalun merdu memenuhi aula Gedung Dakwah Muhammadiyah Gresik (GDMG), Jalan Permata Nomor 7 Kembangan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Tembang itu mengiringi pembukaan Workshop Penyutradaraan Teater Anak dan Pelajar, Sabtu (3/8/19).
Kegiatan yang digelar oleh Lembaga Seni Budaya dan Olaraga (LSBO) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik itu diikuti 45 peserta dari 21 sekolah Muhammadiyah se-Kabupaten Gresik. Tak tanggung-tanggung, workshop ini mendatangkan dosen teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya Roci Marciano MSn.
Ketua LSBO PDM Kabupaten Gresik Sri Wahyuni SAg MPd mengaku sengaja merancang acara tersebut untuk guru-guru SD hingga SMA Muhammadiyah se-Kabupaten Gresik, khusunya guru teater, agar mampu mengembangkan ekstrakurikuler teater di sekolah masing-masing. “Mengapa hal ini penting, karena teater merupakan seni yang kompleks,” ujarnya.
Menurutnya, belajar teater dapat meningkatkan percaya diri pada anak yang tentu sangat berguna untuk mengembangkan bakat-bakat lain seperti mendongeng, baca puisi, monolog, dan lainnya. Sebagai seorang pelaku seni, ia juga berharap ada regenerasi teater di Kabupaten Gresik, khususnya di lingkungan Muhammadiyah.
Workshop ini terbagi menjadi dua sesi. Pada sesi pertama, Kak Roci, sapaan akrabnya, berbagi ilmu dengan peserta mengenai penyutradaraan untuk anak, khususnya usia SD. Ia menekankan, menyutradarai anak SD sangat berbeda dengan SMP, SMA, bahkan orang dewasa. “Saya sarankan penyutradaraan tingkat SD mulai kelas empat sampai enam,” tuturnya.
Beginya, anak usia kelas III ke bawah atau TK masih dalam tahap imajinasi yang kita (orang dewasa) tidak boleh menggangu. “Kalau ada penampilan anak tingkat TK itu rapi, maka perlu curiga, jangan-jangan mereka sudah terdzalimi oleh orangtua,” ucapnya disambut tawa peserta.
Sebagai seorang sutradara yang baik, kata Kak Roci, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kita bisa menyusun alur, penokohan, dan tema. “Serta klimak dalam cerita menjadi muara terpenting dalam jalannya sebuah pertunjukan,” tegasnya.
Workshop dilanjutkan dengan sesi praktik. Peserta dituntut mampu mengolah rasa, olah vokal, dan olah tubuh sebagai modal utama menjadi pegajar atau sutradara teater yang baik. Selain itu, peserta juga diminta memeragakan sebuah adegan di panggung dengan teknik dramaturgi (teknik pemanggungan) yang sudah mereka pelajari di awal.
Dalam praktiknya, kata dia, olah tubuh serta olah rasa adalah hal pertama yang harus dipelajari sebelum bermain peran dalam sebuah pertunjukan. “Di sini kita diajarkan untuk bisa bersama, merangkul, serta menyatukan hati agar bisa sejalan dan tidak mementingkan ego kita masing-masing,” jelasnya alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut.
Ia menegaskan, dengan menumbuhkan jiwa sosial, kita akan bisa meningkatkan konsentrasi dan kelenturan tubuh saat bermain peran. “Selain itu juga untuk menumbuhkan olah rasa yang ada dalam diri kita,” ujarnya.
Kak Roci menambahkan, kita sebagai pengajar juga secara tidak langsung adalah seorang sutradara dalam kelas. Menurutnya, guru seharusnya bisa mengambil kendali suasana kelas dengan kondusif, yakni dengan mengetuk rasa serta konsentrasi siswa dengan cara senam olah tubuh.
Game olah rasa, kata dia, menjadi awal penyemangat kita belajar bagaimana menjadi seorang sutradara teater maupun sutradara kelas bagi murid kita. “Keseruan banyak tercipta di situ. Kita bisa mengetahui ekspresi yang seharusnya bisa kita munculkan. Bagaimana ekspresi senang ataupun sedih. Mengesampingkan rasa malu dan keseriusan itu modal utamanya,” paparnya.
Ia menuturkan, memberikan pengajaran dengan hati serta kata-kata positif untuk anak menjadi kendaraan imajinasi mereka. “Hal itu sebagai pondasi saya menjadi sutradara yang sukses di dalam kelas,” tegasnya. (*)
Kontributor Ahmad Muzaki, Zaki Abdul Wahid, dan Yulia Dwi Putri Rahayu. Editor Mohammad Nurfatoni.