PWMU.CO – Bagaimana hukum membagikan daging kurban kepada non-Muslim? Ketua Divisi Tarjih dan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Ustad Dr Achmad Zuhdi Dh MFilI menyampaikan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim.
Ustad Zuhdi—sapaannya—mamaparkan, sebagian ulama bermahzab Syafi’iyah mengharamkannya. Sedangkan, ulama Malikiyah memakruhkannya. Adapun ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkannya, asal itu bukan daging kurban yang wajib.
“Ulama sepakat daging kurban boleh diberikan kepada fakir miskin Islam. Tapi mereka berbeda pendapat mengenai memberi makan daging kurban kepada fakir miskin ahli dzimmah (non-Muslim),” ujarnya mengutip perkataan Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab.
Hal itu ia sampaiakn dalam Kajian Bulanan Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim di Hall Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Sabtu (3/8/19). Acara diikuti oleh ratusan ulama tarjih Muhammadiyah se-Jatim.
Ustadz Zuhdi lalu memaparkan pandangan dari Imam Hasan al-Basri yang memberi keringanan alias membolehkan mereka (non-Muslim) memakannya. Demikian juga Abu Hanifah dan Abu Tsur juga membolehkannya.
“Nah, Imam Malik lebih suka memberi makan daging kurban kepada fakir-miskin yang Muslim dan menganggapnya makruh memberikan daging kurban kepada kaum Nasrani (non-Muslim), baik kulit maupun dagingnya,” paparnya.
Dosen UINSA Surabaya itu melanjutkan, adapun Al-Layts menganggapnya makruh. Tapi, ia berpendapat jika daging kurban tersebut dimasak boleh diberikan kepada ahl dzimmah (non-Musim) berserta fakir miskin Islam.
“Boleh saja memberikan makan daging kurban kepada non-Muslim, asal kurban sunah. Sebaliknya bukan kurban yang wajib, yakni kurban karena nazar misalnya,” terangnya.
Sementara, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berpendapat boleh saja memberikan hasil kurban berupa daging kepada orang kafir (non-Muslim) yang memiliki ikatan perjanjian dengan kaum Muslimin. “Kita boleh memberikan hasil kurban tersebut karena kekerabatannya, ia sebagai tetangga, atau ingin melembutkan hatinya,” sebutnya.
Ustadz Zuhdi menegaskan, yang namanya ibadah kurban adalah sembelihan yang disajikan untuk Allah sebagai bentuk pendekatan diri dan ibadah kepada-Nya.
“Adapun daging kurban lebih afdhal dimakan oleh shahibul kurban sepertiganya. Lalu sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga dan sahabatnya. Kemudian sepertiganya lagi sebagai sedekah untuk orang miskin. Jika lebih atau kurang dari sepertiga tadi atau hanya cukup untuk sebagian mereka saja, maka tidaklah masalah. Masalah ini ada kelapangan,” urainya.
Ia mengingatkan, supaya daging hasil kurban tidak boleh diserahkan kepada kafir harbi (non-Muslim yang memerangi kaum Muslimin). Sebaliknya, kafir harbi harus ditekan dan dilemahkan. “Kita tidak boleh simpati, dan malah menguatkan mereka dengan diberi daging kurban. Demikian juga berlaku dalam sedekah sunah,” pintanya.
Hal itu, kata dia, sebagimana firman Allah SWT yang artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Almumtahanah ayat 8).
Juga dalam Almumtahanah ayat 9 yang artinya: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang dzalim.”
Menurut Ustadz Zuhdi, ayat tersebut menjelaskan syariat Islam tidak melarang umatnya untuk bermuamalah (bergaul) dengan baik kepada umat lain, bahkan syariat Islam memberikan bimbingan agar berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memusuhi dan mengusir umat Islam dari tanah airnya.
Bahkan, lanjutnya, dalam Al-Insan ayat 8 disebutkan: ”Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang di tawan.”
Maka, jelasnya, daging kurban adalah makanan yang boleh dimakan sehingga boleh diberikan sebagai makanan bagi orang kafir dzimmi (non-muslim) sebagaimana makanan-makanan lainnya, dan merupakan sedekah sunah yang dianjurkan.
“Karenanya, boleh diberikan kepada orang kafir dzimmi dan para tawanan sebagaimana sedekah sunah lainnya,” jelasnya mengutip perkataan Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.
Ustad Zuhdi mengungkapkan, tentang kebolehan berbuat baik dengan orang non-Muslim, selain kafir harbi, adalah berdasarkan praktik Nabi SAW yang pernah menyuruh Asma’ binti Abi Bakr RA untuk tetap berbuat baik kepada ibunya yang musyrik saat hadanah (perdamaian).
Hal itu, sambungnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Asma binti Abi Bakr, ia berkaata: ”Aku pernah didatangi ibuku yang masih musyrik pada masa Rasulullah SAW lalu aku meminta fatwa dari Rasulullah SAW. Aku berkata, ’Sesungguhnya ibuku datang, dia begitu ingin (menemuiku), apakah aku sambungkan silaturahim dengan ibuku?’ Beliau bersabda, ’Ya, sambungkanlah ibumu.” (HR Al-Bukhari No. 2620; Muslim No. 2372).
Nah, berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas ulama tidak melarang atau tidak mengharamkan daging kurban diberikan kepada non-Muslim. “Maka, tidak mengapa memberikan sebagian dari daging kurban kepada tetangga yang non-Muslim sebagai hadiah atau sedekah. Terutama jika kurang mampu,” tandanya. (*)
Reporter Aan Hariyanto. Editor Mohammad Nurfatoni.