عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ» قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ – رواه مسلم
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya: “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?’ Rasulullah berkata: “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).’” (HR Muslim No 6758).
Status Hadis
Hadis tersebut adalah hadis shahih riwayat Muslim Nomor 6758 yang termuat dalam kitabnya (Imam Muslim, al-Jami al-Shahih, VIII/21). Selain diriwayatkan oleh Muslim, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 4876; al-Tirmidzi No. 1934; Ahmad No. 8985; Ibn Abi Syaibah No. 25538; Malik No. 3618; Ibn Hibban No. 5758; al-Nasa-i No. 2714; dan lainlain. Muhammad Nashiruddin al-Albani juga menilai hadis tersebut shahih (al-Albani, Shahih al-Targhib Wa al-Tarhib, III/52).
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan tentang ghibah. Menurut Nabi, yang disebut ghibah itu adalah membicarakan (aib) orang lain, atau membicarakan orang lain tentang apa saja yang tidak disukainya. Jika yang dibicarakan tentang orang lain itu tidak benar atau tidak sesuai dengan faktanya, maka pembicaraan itu bukan ghibah lagi tetapi fitnah atau dusta.
Ghibah termasuk perbuatan yang keji dan tak terpuji serta haram hukumnya. Allah Subhanahu wataala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Alhujurat ayat 12).
Imam al-Syaukani rahimahullah dalam kitab Tafsirnya (Fath al-Qadir, V/92) mengatakan: “Allah Ta’ala mengumpamakan ghibah (menggunjing orang lain) seperti memakan bangkai seseorang, karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Hal ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikian keterangan dari Al-Zujaj”.
Al-Syaukani rahimahullah lebih lanjut menjelaskan: “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu seperti dagingnya. Jika dagingnya saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya, juga tidak boleh dicemarkan. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ghibah adalah perbuatan yang teramat keji. Karena itu, sangatlah tercela orang yang melakukan ghibah, dan secara syarak hukumnya haram”.
Abu Ja’far al-Thabari berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan ghibah kepada seseorang masa hidupnya sebagaimana Allah telah mengharamkan memakan dagingnya ketika ia telah mati.” (al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al- Qur’an, XXII/ 308).
Sungguhpun perbuatan ghibah itu diharamkan, tetapi dalam situasi tertentu ghibah dibolehkan, selama bertujuan untuk kebaikan dan demi kemaslahatan. Imam al-Nawawi, dalam kitabnya (al-Adzkar al-Nawawiyah, I/430-432), mengemukakan ada enam sebab yang membolehkan seseorang melakukan ghibah, yaitu:
Pertama, dalam kasus penganiayaan. Orang yang teraniaya boleh mengadukan orang yang menganiaya dirinya kepada pihak yang berwenang misalnya kepada polisi. Orang yang teraniaya tadi dapat melaporkan kepada polisi bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil dan tidak senonoh.
Kedua, meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan menyadarkan pelaku kemaksiatan agar kembali ke jalan yang benar. Misalnya kita katakan kepada seorang ustadz tentang “kebiasaan buruk” teman kita untuk mengingatkan agar ia segera sadar.
Ketiga, meminta fatwa dengan berkata kepada seorang ulama atau ustadz bahwa bapakku atau saudaraku telah menganiaya diriku…. apakah dia berhak melakukan hal tersebut? Solusi apa yang bisa aku lakukan agar terhindar dari penganiayaannya?
Ucapan semacam ini diperbolehkan karena memang diperlukan. Akan tetapi, lebih baik jika menggunakan bahasa yang agak disamarkan. Semisal dengan mengatakan, “Bagaimana hukum seseorang atau seorang suami, orang tua, atau anak yang berbuat demikian dan demikian?”
Kebolehan menyebutkan identitas pelaku ini berdasarkan ucapan Hindun binti Utbah kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu sesuai kebutuhannya.” (HR Bukhari No 5049)
Keempat, untuk memperingatkan kaum Muslimin dari suatu bahaya. Contoh ghibah yang dibolehkan karena alasan ini adalah seperti (a) kritik terhadap para perawi hadis, para saksi dan para penulis buku, sesuai kesepakatan ulama; (b) menceritakan kekurangan seseorang ketika kita dimintai pertimbangan sebelum melakukan urusan penting dengan orang tersebut, seperti kata Nabi SAW saat dimintai pertimbangan menjadi calon suami Fatimah binti Qais. Rasulullah SAW bersabda: “Muawiayah adalah seorang yang miskin, tidak berharta. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Terimalah lamaran Usamah bin Zaid. Akhirnya Fathimah binti Qois menikah dengan Usamah dan bahagia bersamanya” (HR. Muslim No. 1480); (c) jika kita melihat seorang yang membeli barang yang cacat, seharusnya kita mengingatkan pembeli mengenai hal itu dengan maksud menghendaki kebaikan untuk orang lain, bukan untuk merugikan penjual atau mengacaukan transaksi jual beli; (d) jika kita melihat ada orang yang bergaul akrab dengan orang fasik (orang yang gemar bermaksiat) atau menimba ilmu dari ahli bid’ah dan kita khawatir orang tersebut akan terpengaruh maka seharusnya kita menasehati orang tersebut dengan menjelaskan keadaan gurunya berdasarkan bukti dan fakta bukan prasangka dan praduga. Hal ini kita lakukan karena kita menginginkan kebaikan untuk orang tersebut dan bukan untuk menggunjing gurunya; (e) apabila ada orang yang memegang jabatan tertentu namun dia tidak bisa menjalankannya sebagaimana mestinya karena tidak memiliki kapabilitas atau suka melanggar aturan agama. Selayaknya orang ini kita laporkan kepada atasannya untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Dengan demikian pihak atasan tidak tertipu laporan anak buahnya sehingga bisa mengarahkan anak buahnya untuk bekerja dengan baik.
Kelima, orang yang terang-terangan melakukan berbagai dosa besar atau kebidahan. Dalam kasus seperti ini dibolehkan menceritakan kejelekan yang dia lakukan dengan terang-terangan, namun tidak diperkenankan menyebutkan kejelekan yang lain kecuali berdasarkan alasan yang bisa dibenarkan.
Keenam, untuk memberi penjelasan. Jika ada seseorang yang terkenal dengan julukan tertentu seperti, “si buta, si pincang, si cebol dan semisalnya” maka dibolehkan menyebutkan julukan tersebut untuk memberi penjelasan tentang orang yang dimaksudkan. Namun hukum hal ini berubah menjadi tidak boleh jika orang yang menyebutkan julukan tersebut bermaksud mencela.
Akan tetapi lebih baik jika bisa menjelaskan orang yang dimaksudkan tanpa menyebutkan julukan tersebut. Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah mengucapkan salam padahal beliau baru mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat. Maka seorang yang memiliki julukan Dzul Yadaini berkata kepada Nabi, “Apakah shalat dikerjakan secara qashar ataukah engkau lupa wahai Rasulullah?” Rasulullah lantas berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah benar apa yang dikatakan oleh Dzul Yadaini?” Para shahabat berkata, “Benar”. Rasulullah lantas bangkit dan shalat sebanyak dua rakaat kemudian mengucapkan salam kemudian bersujud sebagaimana sujud yang biasa beliau kerjakan atau lebih lama lagi (HR Bukhari no 682).
Dzul Yadaini adalah julukan bagi seorang shahabat yang memiliki ukuran tangan yang tidak normal. Hadits di atas adalah dalil tegas menunjukkan bolehnya memanggil seseorang dengan nama panggilannya yang dikaitkan dengan kelainan fisik yang dia miliki. (*)
Oleh Dr H Achmad Zuhdi SH MFil I, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Kajian hadits ini kali pertama dimuat di Majalah MATAN.