PWMU.CO – Meski tak selalu dipersepsi positif, tetapi narasi “Clash of Civilization” ala S. Huntington selalu menemukan relevansinya—jika tidak disebut justifikasi empirik dalam kehidupan nyata.
Benturan peradaban ini mengandaikan bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Bahkan sebagian yang lain menyatakannya sebagai “clash of world-view” (benturan pandangan dunia yang berasas pada keyakinan keimanan).
Jauh sebelum “tragedi akademik” yang viral melalui medsos beberapa hari terakhir ini, wacana demoralisasi berkedok akademik sudah lama digelorakan. Hanya saja tak segaduh saat ini, akibat maraknya kontrol publik terhadap segala paradoks yang sedang berlangsung secara masif.
Dua puluh tahun yang lalu demoralisasi semacam ini terjadi nyaris tanpa interupsi publik yang berarti, kecuali sekelompok kecil pemikir muda yang sadar dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Itupun tak bebas dari tuduhan radikal atau ekstrem. Atau setidaknya dituduh sebagai kaum “Wahabi yang terdidik” secara baik di bidang filsafat dan pemikiran kontemporer.
Yang penting diketahui dan disadari oleh seluruh umat Islam di republik ini, bahwa para pengasong “liberalisme” dan “liberalisasi” Islam tak akan lelah berupaya meletakkan basis epistemologis bagi ideologi dan kepentingan politiknya.
Kebenaran yang hanya bersandar pada klaim kebenaran prosedur ilmiah semata, akan mengacaukan banyak persoalan bagi umat (dekonstruksi). Terlebih jika berhadap-hadapan dengan sesuatu yang telah pakem dan diterima secara pasti (al-ma’lūm min al-dīn bi al-dlarūrah).
Wacana legalisasi seks bebas (non-marital), legalisasi perkawinan sejenis, dekonstruksi konsep wahyu, relativisme kebenaran agama, disharmoni relasi laki-perempuan dan seterusnya, menjadi semakin liar tak terkendali manakala bersandingan dengan persoalan-persoalan non-akademik semisal invasi budaya, kontestasi ideologi transnasional, hegemoni politik, ekonomi, dan lain-lain.
Lembaga pendidikan Islam seharusnya tidak bebas nilai. Atraksi-atraksi dan akrobat akademik semacam ini hanya akan menjadi buih tak bermakna, bahkan akan menjadi sampah peradaban yang akan ditertawakan oleh sejarah. Sebab ada janji kenabian yang memproteksi umat ini dari ragam upaya penyesatan, manipulasi, dusta, sampai interpretasi yang tak bertanggung jawab. Sabdanya:
يحمِلُ هذا العِلْمَ مِن كلِّ خَلَفٍ عُدولُه يَنفون عنه تحريفَ الغالينَ وانتحالَ المُبْطِلينَ وتأويلَ الجاهلينَ
”Ilmu agama ini akan dipikul orang-orang yang ‘ādil (kredibel dan berintegritas) dari setiap generasi. Mereka menolak tahrīf (manipulasi) orang yang melampaui batas (ekstrem), menolak kedustaan dari ahli kebatilan dan ta’wīl (interpretasi) orang bodoh.” (HR Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Albānī).
Penting pula mentadabburi kembali Kalāmullāh berikut ini:
أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Ar-Ra`d: 17)
Kolom oleh Fathurrahman Kamal Lc MSi, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah