PWMU.CO – Munculnya konflik antarumat beragama seperti yang terjadi di Ambon Maluku beberapa tahun silam, tidak murni berakar dan disebabkan oleh masyarakat itu sendiri, dalam hal ini komunitas Islam dan Kristen. Tetapi lebih banyak dipicu atau dipengaruhi oleh kepentingan pihak luar dengan tujuan dan kepentingan beragam. Demikian pendapat yang disampaikan Dr Hamzah Tualeka saat menjadi narasumber pada Forum Kajian Dosen (FKD) “Padhang Wetan” FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) putaran ke-9 di Rumah Makan (RM) Berong Surabaya, Rabu (22/6).
Dr. Hamzah Tualeka, selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Agama Islam UMSurabaya, dalam membahas tema “Kearifan Lokal Pela Gandong di Lumbung Konflik Ambon Lease”, menjelaskan bahwa konflik terjadi biasanya bermuara pada tujuan atau kepentingan tertentu. Terutama kepentingan politik dan ekonomi pihak luar yang mencoba mengambil keuntungan. “Seperti konflik yang terjadi di Ambon Maluku beberapa waktu lalu,” tuturnya.
(Baca: Penulisan Sejarah Islam Harus Objektif dan Pentingnya Paradigma Pendidikan Berkemajuan di Muhammadiyah)
Meski dalam suasana konflik Ambon 1999, kata Hamzah, kearifan lokal Pela Gandong (persaudaraan sedarah tanpa melihat agama) masih sangat berpengaruh dan terjalin sebagai harmoni yang kuat.
”Konflik di Ambon terjadi lebih dipengaruhi oleh pihak luar, bukan masyarakat asli Ambon itu sendiri. Mereka hanya memanfaatkan masyarakat Ambon sebagai alat untuk pemantik konflik, dan dengan agama sebagai sumbunya,” tutur pria asli Ambon ini.
Sementara itu pengasuh Kajian FKD “Padhang Wetan” FAI UMSurabaya Sholikh Al Huda mengatakan, agama memiliki dua ekspresi. Satu sisi sebagai juru selamat dan damai, namun di satu sisi juga sering sebagai sumber konflik atau perang. Bahkan, agama sering dijadikan alat legitimasi konflik perang.
(Baca: Problem Inilah yang Membuat Kajian Keislaman Mandeg dan Perkuat Basis Kaderisasi, IMM Cabang Ini Dirikan 2 Komisariat Baru)
”Sebagaimana teori Karl Marx yang menyebut adanya superstructure yaitu ekonomi, kemudian ditambah adanya basic structuru, baik politik, agama, sosial, dan budaya. Superstructure ekonomi sering kali sebagai penentu perubahan basic structure itu sendiri,” urainya.
Sholik menegaskan, perubahan termasuk konflik yang mengatasnamakan agama itu sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi. ”Karena konflik atas nama agama itu biasanya bermuara pada kepentingan ekonomi atau politik. Daripada persoalan keyakinan agama itu sendiri. Sehingga yang dibutuhkan di kalangan umat Islam adalah upaya memperkuat ekonomi dan politik. Agar tidak mudah diadu-domba oleh pihak luar,” katanya. (aan)