PWMU.CO – Kajian tarjih kian menggairahkan. Kesan itu terasa ketika Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadyah (PWM) Jatim menggelar Kajian Fikih bertema Shalat Ghaib: Sejarah, Hukum, dan Problematikanya di Kalangan Ulama Muhammadiyah, di aula Universitas Muhammadiyah Lamongan (5/10/19).
Kendati topiknya klasik, ratusan ulama tua dan muda antusias mengikuti diskusi hingga selesai. Tidak jelas apa penyebabnya. Pastinya, ini fenomena menarik. Karena biasanya diskusi-diskusi tentang fikih hanya diminati kaum tua.
Kegairahan ini menjadi momentum bagus bagi majelis daerah untuk meningkatkan intensitas kajian mengenai topik-topik aktual sehingga dapat menjadi alternatif panduan keagamaan bagi masyarakat yang terus berubah.
Memang ada sebagian masyarakat yang alergi membincangkan masalah fikih. Karena fikih dianggap biang perpecahan, lantaran banyaknya perbedaan pendapat, terutama dalam masalah furuiyah.
Termasuk dalam kajian tersebut, sebagian peserta mengaku bingung setelah dua narasumber KH Ahmad Munir dan Dr Syamsuddin memaparkan aneka pendapat mengenai shalat ghaib: apakah disyariatkan atau tidak dan waktunya kapan saja. Mereka umumnya menginginkan penegasan tunggal. Bagi mereka fiqih tanawuk, yang memberikan beberapa alternatif pendapat, dianggap tidak tegas.
Padahal dengan dikemukakan aneka pendapat itu bisa memperkaya dan memperluas pandangan tentang suatu masalah. Orang yang faham fikih tanawuk, pada gilirannya akan sangat toleran terhadap perbedaan pendapat.
Karena memang kebenaran fikih itu hanyalah bersifat dlan, atau dugaan kuat, tidak mutlak dan tidak bisa saling menafikan. Dicontohkan para imam madzhab, sekalipun ada perbedaan di kalangan mereka, tapi tidak mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka.
MTT, merupakan unsur Pembantu Pimpinan Persyarikatan (UPP) yang bertugas membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap paling kuat dalilnya.
MTT juga berfungsi melakukan ijtihad hukum baru terhadap masalah-masalah aktual yang belum ada ketentuan hukumnya dan mengevaluasi berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada semangat Alquran dan Assunah serta lebih maslahat untuk diterima.
UPP yang kali pertama dibentuk pada 1928 atas usul KH Mas Mansur, ini dalam mekanisme penentuan hukum, tidak hanya bertumpu pada sejumlah kaidah ushul, melainkan dilandasi pula oleh semangat pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Antara lain toleran, terbuka, dan tidak bermadzhab.
Toleran
Putusan MTT tidak menganggap dirinya paling benar, sementara yang lain salah. Dijelaskan dalam buku Himpunan Putusan Tarih (HPT) halaman 383, bahwa keputusan MTT, mulai dari merundingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh tarjih itu.
Apalagi, dalam masalah fiqhiyah kebenarannya tidak selalu tunggal, sehingga sikap toleran menjadi niscaya. Sayangnya, prinsip ini kurang dipahami oleh sebagian warga, sehingga tidak heran jika ada yang menganggap hanya HPT yang paling benar, dan memvonis salah terhadap pendapat lain yang berbeda.
Dalam kasus posisi tangan saat berdiri i’tidal misalnya. Apakah sedekap atau lurus, bunyi haditsnya sama: posisi tangan kembali ke “asal”. Lalu sebagian ulama memaknai asal sebelum takbir, berarti lurus. Tapi sebagian memahaminya setelah takbir, berarti sedekap.
Terbuka
Semua putusan tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan. Putusan-putusan tentang suatu hal yang ditetapkan pada masa lalu, jika dalam perkembangannya ditemukan dalil atau argumen lain yang lebih kuat, MTT akan membahasnya dan mengoreksi dalil serta argumen yang dinilai kurang kuat, termasuk jika ada perubahan ‘illatul hukmi.
“Malah kami berseru juga kepada sekalian ulama, supaya suka membahas pula, akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalil yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulangi penyelidikannya, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu, menurut sekedar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu,” [HPT: 383].
Tidak bermadzhab
Dalam berijtihad, MTT tidak mengikuti madzhab tertentu, melainkan bersumber kepada Alquran dan Assunah, serta metode-metode ijtihad yang ada. Tapi juga tidak sama sekali menafikan berbagai pendapat fuqaha yang ada.
Pendapat-pendapat mereka dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma atau ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana dan kapan kita hidup.
Dengan prinsip tersebut para mujtahid Muhammadiyah bebas berfikir untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi pada zamannya, yang mungkin saja berbeda dengan problem sebelumnya. Sehingga pada gilirannya memicu lahirnya mujtahid baru, dan memungkinkan pola pendekatannya mengalami dinamika.
Sementara ini, pendekatan tarjih mengacu pada putusan Jakarta, tahun 2000. Ijtihad Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan sekaligus, yaitu bayani (menggunakan nas-nas syariah), burhani (menggunakan ilmu pengetahuan yang berkembang), dan irfani (didasarkan pada kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin). Sebelumnya, hanya dikenal pendekatan bayani.
Dinamika pemikiran tersebut penting untuk diketahui warga, agar putusan tarjih tetap dipedomani sebagai hasil ijtihad manusia yang selalu terbuka kemungkinan untuk dikoreksi atau direvisi. Bukan diperlakukan sebagai kitab suci.
Secara individual, para ulama Muhammadiyah juga bebas berpendapat atau menulis buku. Jika isinya sesuai HPT, akan membantu mempercepat sosialisasi putusan tarjih. Tapi jika tidak persis sama, tetap akan berguna untuk memperkaya wawasan kita semua. Hanya saja, tidak boleh diatasnamakan sebagai pendapat Muhammadiyah.
Sebagai gerakan Islam berkemajuan, ormas Islam bersimbol matahari ini tidak boleh jumud. Pemikiran keagamaannya harus bergerak dinamis menuju kehidupan yang lebih baik, berdasarkan perspektif agama Islam. Juga dituntut mengembangkan sikap keberagamaan yang moderat dan toleran.
Dalam konteks itulah, kajian-kajian hukum oleh MTT di tingkat daerah harus lebih sering dilakukan. Dengan cara demikian, keterlibatan para kader muda dalam proses pengambilan keputusan hukum Islam, kian banyak. Ini sekaligus sebagai kaderisasi ulama tarjih. Jangan takut kalau ada kesimpulan yang salah, karena bisa dikoreksi oleh majelis di tingkat atasnya. Allahu a’lam bishawab. (*)
Kolom oleh Drs H Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.