PWMU.CO – Barusan saya menerima undangan pernikahan Fikriatunnisa’ Ramadhana dan Bagas Eko Laksono—dua sejoli asal Nganjuk, yang hendak melangsungkan akad nikah pada 19 Oktober 2019. Keduanya dikenal sebagai mantan Pimpinan Wilayah IPM Jawa Timur.
Saya tertarik dengan undangan resepsi yang disebar ke banyak kalangan, termasuk kepada kawan-kawan seperjuangannya. Karena, dalam undangan tidak terpampang foto-foto mesra si calon pengantin, selain hanya foto masing-masing secara terpisah.
Berbeda dengan tren yang kini mewabah di kalangan kaum muda, yang walau belum menjadi suami istri sudah berfoto memamerkan kemesraan, yang lazim disebut foto pre-wedding. Dan, seolah bagi setiap pasangan yang mau menikah, “wajib” menjalani ritual pre-wedding photography atau fotografi pra-nikah.
Asal-usul prewed
Salah satu sumber meriwayatkan, tradisi pre-wedding photography atau lazim disebut prewed, kabarnya mulai muncul di China pada era 90-an, seiring dengan maraknya industri film melodrama yang didukung promosi besar-besaran melalui poster, baliho, dan iklan di TV.
Dengan menerapkan konsep pencahayaan di dunia fotografi, dan olahan warna pada aplikasi komputer, jadilah poster yang memuat pose mesra dua pemain yang menggambarkan suasana bahagia.
Peluang tersebut kemudian ditangkap oleh fotografer China untuk menciptakan sebuah acara pernikahan seperti premiere film, yang dekorasi ruang acaranya bertebaran poster dan foto.
Namun ada pula sumber yang menyebutkan, tradisi ini berasal dari Singapura. Kemunculannya didorong oleh keinginan untuk mengurangi stress para pasangan menjelang hari H. Dengan foto prewed mau tidak mau pasangan harus berpose gembira dan bahagia. Hasil pemotretan lalu dipasang di sampul surat undangan dan standing foto memasuki gerbang tempat acara.
Terlepas dari mana asal tradisi ini, yang pasti prewed telah menjelma menjadi industri tersendiri di dalam negeri. Prewed merupakan keberhasilan industri fotografi dalam melebarkan market bisnisnya di dunia pernikahan sampai ke segala segi. Masalahnya kini, bagaimana pemotretan yang kerap dilakukan dengan pose mesra sebelum akad nikah ini dalam perspektif syar’i?
Prewed Islami
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar seremoni untuk melegalkan hubungan dua sejoli belaka. Lebih dari itu juga bernilai ibadah. Sejumlah rambu-rambu dibuat agar tujuan mulia untuk membangun rumah tangga sakinah, tidak ternoda oleh hal-hal yang salah kaprah.
Misalnya, Islam menganjurkan calon suami istri untuk saling mengenalnya. Tetapi bukan berarti bebas berduaan ke mana saja dan melakukan apa saja. Karena selama belum ada akad nikah, keduanya tetaplah orang lain yang pergaulanya dibatasi rambu-rambu agama.
Antara lain seperti terdapat dalam surat Annur ayat 30-31, yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; karena yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.”
Juga Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi, yang artinya: “Hai Ali, jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” Dan masih banyak lagi aturan yang intinya melarang setiap yang bukan mahram melakukan hal-hal yang mendekati perzinaan.
Sejauh yang penulis ketahui, belum satu pun kitab fikih klasik yang membahas prewed ini. Prewed sebagai fenomena industrial baru difatwakan ulama-ulama kontem¬porer, yang pada pokoknya melarang foto laki-laki dan perempuan sebelum nikah seperti suami istri. Tapi, “Kalau sudah nikah difoto dengan pose suami istri itu tidak apa-apa,” kata Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Sementara Muhammadiyah, kendati belum secara khusus membahasnya, tapi dalam buku Adabul Mar’ah fil Islam, disebutkan bahwa pergaulan yang dibarengi ikhtilat atau percampuran lelaki-perempuan dan membuka aurat itu dilarang. Jadi, illatul hukmi-nya adalah ikhtilat.
Jika dalam prewed terdapat ikhtilat, berarti dilarang. Lalu bagaimana bila difoto terpisah, kemudian hasilnya direkayasa dengan teknologi fotografi, dipadukan seolah-olah mereka difoto bersama? Menurut hemat saya pokok masalahnya bukan hanya saat pengambilan gambar, tapi juga asosiasi orang lain yang melihat hasil rekayasa itu.
Lain halnya bila foto masing-masing diletakkan pada posisi terpisah, seperti yang dilakukan Fikriatunnisa’ Ramadhana dan Bagas Eko Laksono. Atau diambil setelah akad nikah. Maka hal itu tidaklah mengapa. (*)
Kolom oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.