PWMU.CO – Prof Din Syamsuddin mengakui kuatnya pengaruh pendidikan pesantren pada dirinya. Hal itu dia ungkapkan saat menjadi pembicara pada Pengajian Akbar bertema “Peran Pesantren dalam Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin” di Yayasan Pondok Pesantren Al Fattah, Buduran, Sidoarjo, Ahad (20/10/19).
Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo ini mengatakan, kehidupan pesantren yang 24 jam diisi dengan pendidikan, shalat, doa, dzikir, dan shalawat menjadikan lingkungan tersebut penuh dengan barokah.
“Barakah adalah tsabatul khair yaitu menetapnya kebaikan. Dan konsep barakah dalam Islam ditambah dengan ziyadatul khair, tambahan kebaikan. Ada tsabatul khair dari bumi, ditambah ziyadatul khair dari langit, dari Allah SWT,” jelasnya.
Din menyatakan pendidikan pesantren mempunyai andil besar mempengaruhi kepribadiannya. “Saya merasa 60 persen dari kepribadian saya, dari hidup saya, dari perkembangan saya, dari prestasi kalau ada disebut demikian, itu dipengaruhi oleh Gontor, kalau boleh saya representasikan,” ungkapnya.
Menurut Din, ada beberapa faktor yang menjadikan pesantren memiliki andil besar dalam pembentukan kepribadian. Pertama adalah diberikannya dasar-dasar ilmu agama.
Kedua diajarkannya ilmu bahasa—terutama Arab dan Inggris—yang bisa mengantarkan dirinya untuk mendapat beasiswa ke luar negeri.
Ketiga mentalitas kepribadian, dengan dilatih kepanduan, pidato dan kegiatan sehari-hari lainnya. “Saya paling senang dulu itu ketika latihan pidato bahasa Inggris, juara pidato bahasa Inggris dulu. Akhir pidato saya tutup dengan kalimat why not the best, mengapa tidak menjadi yang terbaik? Itu merasuk dalam diri untuk selalu menjadi yang terbaik,” kenangnya.
Keempat, di pesantren dilatih untuk terbuka pemikirannya sehingga di masyarakat menjadi perekat umat.
Din berharap kepada Ponpes Al Fattah untuk menekankan pendidikan nilai agama. Sebab, menurutnya, pendidikan agama di Indonesia pada kenyataannya hanya sekadar pengajaran agama.
“Pendidikan agama wajib diberikan dari tingkat paling dasar sampai ke tingkat yang paling tinggi sesuai dengan agama peserta didik oleh guru yang seagama,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, Muhammadiyah telah memperjuangkan agar pasal demikian terwujud,dan ternyata tahun 79 sudah diperjuangkan dan berhasil. Tapi gagal dilaksanakn sehingga anak Muslim yang belajar di sekolah agama lain tidak mendapatkan pendidikan agama Islam. “Dan sekarang pasal tersebut berhasil kembali diterapkan,” jelasnya.
Pendiri pesantren Dea Malela di Sumbawa ini juga berpesan agar nilai kepesantrenan, pendidikan akhlak dan watak, harus menonjol. Karena dunia Islam membutuhkan munculnya kader-kader ulama intelektual yaitu ulama yang sekaligus ilmuan karena dunia Islam pernah memegang tampuk kekuasaan supremasi peradaban dunia yang kini cenderung menurun. “Bukan hanya ulama yang hanya bisa baca kitab kuning,” kelakarnya.
Din juga berpesan agar hari santri yang diperingati setiap tahun tidak sekadar seremonial yang kehilangan isi dan subtansi. Ia juga berharap adanya perbaikan tentang definisi pesantren yang sekadar lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan kitab kuning.
“Itu kalau berhasil jadi definisi pesantren pada undang-undang pesantren, itu tidak berkemajuan,” tegasnya. Menurutnya di era digital ini tidak bisa lagi hanya bergantung model pembelajaran kitab kuning seperti hanya menghafalnya.
“Sekarang Al Ulum bukan fis sudur (dalam hafalan) tapi Al Ulum fis sutur (dalam baris – baris tulisan),” ujarnya. Ia berharap undang-undang pesantren agar tidak dibatasi pada pengertian tertentu apalagi ada maksud agar ada anggaran negara yang mengalir ke pesantren.
Din berpesan agar pendidikan keluarga juga memberikan perhatian bagi munculnya anak-anak yang paham agama. “Bukan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada pesantren,” tuturnya. (*)
Kontributor Rozaq Akbar. Editor Mohammad Nurfatoni.